Hasan Al-Banna menjelaskan da’wah dalam berbagai sisinya: politik, da’wah, gerakan, penyusunan strategi, dan ekonomi.
Kajian terhadap pusaka mengenai tulisan-tulisan Hasan Al Banna perlu mendapatkan perhatian, terutama trkait fiqih politik (Fiqih Siyaasi) Beliau. Beliau merupakan seorang pembaru (mujaddid) abad keduapuluh tanpa perlu dipertentangkan. Beliau semasa hidupnya berpikir keras terhadap berbagai permasalahan dunia Islam dan terhadap keadaan ummat Islam, terutama masalah konspirasi terhadap negara Islam.
Beliau telah hidup di zaman kaum salibis yang memerangi dunia Islam, menghapus negara Islam Utsmaniyah, mengeluarkan statemen bahwa Ataturk melakukan skularisasi negara dan menghapus Khilafah, kemudian Perancis dan Inggris Raya membagi daerah itu setelah Perang Dunia Pertama (PD I) sesuai kesepakatan yang dilakukan oleh masing-masing utusan dari Ingris dan Perancis, Saix dan Bico, yang menamakan kesepakatan tersebut dengan kedua nama mreka (Kesepakatan Saix-Bico).
Imam Hasan Al Banna telah menyaksikan perpecahan dunia Islam menjadi negara-negara jajahan yang dijajah oleh negara-negara kafir salibis, yang dibantu oleh negara ex Uni Soviet yang haus darah ummat Islam seperti di negara Chesnya, Kaukas serta kawasan lainnya.
Ustadz Hasan Al Banna berusaha mengumpulkan para ulama dan pemimpin untuk sebuah proyek kerja besar, yakni meneruskan kembali kehidupan Islam dan membebaskan negara-negara umat Islam dari kaum penjajah. Beliau melihat mayoritas kaum Muslimin dalam keadaan kehilangan semangat dan ketakutan yang sangat kentara. Tetapi Beliau tidak pustus asa terhadap berbagai situasi dan kondisi yang menhancurkan tersebut. Bahkan Beliau berinisiatif dimulai dari dirinya sendiri untuk bekerja, mengumpulkan dan menyusun rencana. Dengan beberapa suara Muslimnya, Beliau mendirikan Jama’ah Ikhwanul Muslimin di daerah Isma’iliyah.
Pemikiran Beliaupun diserap oleh banyak orang, sehingga menyebabkan Beliau dicintai sangat luas yang mana hal itu belum pernah terjadi untuk satu orangpun dari para pemimpin di daerahnya, lalu mereka mengikuti jalan dan pemikiran Beliau serta menjadi tentara dan pengikutnya.
Di antara hal yang tidak diragukan lagi ialah da’wah Beliau itu berkomitmen dengan Islam, baik sebagai aqidah, syari’ah dan sistem kehidupan. Beliau menjelaskan da’wah tersebut dalam berbagai sisinya: politis, da’wah, gerakan, penyusunan strategi dan ekonomi. Orang yang mengamati apa yang Beliau tulis dalam risalah-risalah dan diktat-diktat Beliau akan menemukan bahwa Imam Hasan Al Banna adala seorang pemimpin politik yang diikuti masyarakat banyak. Beliau memiliki pemahaman politik Islam (Fiqih Siyasi Islami) yang diambil dari pemahaman kalangan intelektual dan ulama Islam.
Benar, Beliau adalah seorang faqih dengan sebenarnya, politikus ulung, memiliki pengalaman yang luas, kejeniusan dan kedudukan yang disaksikan oleh setiap orang yang mengenalnya baik dari musuh maupun teman dalam kadar yang sama. Robert Jackson telah bertemu dengan Ustadz Hasan Al-Banna pada tahun 1946 mengatakan: “Saya memperkirakan akan datang suatu hari yang mana laki-laki ini mengusai kepemimpinan masyarakat, tidak hanya di Mesir, bahkan di seluruh wilayah Timur. Dr. Kamjian, seorang dosen ilmu politik di Universitas New York mengatakan: “Kemunculan Al-Banna merupakan contoh yang melambangkan kepribadian keluarga yang muncul pada waktu-waktu krisis untuk melakukan tugas kebebasan sosial spiritual.
Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.
Robert Jackson mengatakan tentang kepemimpinan Hasan Al-Banna: “Beliau adalah seorang yang paling jenius di antara para politisi, paling kuat di antara para pemimpin, paling berargumen di antara para ulama, paling beriman di antara para sufi, paling semangat di antara para atlit, paling tajam di antara para filsuf, paling diplomatis di antara para orator, dan paling bermisi di antara para penulis. Masing-masing sisi dari sisi-sisi ini muncul dengan istimewa pada waktu yang pas pula.
Dahulu politik penjajahan mengarahkan para pemimpin bangsa dari jihad politik mereka untuk membebaskan negeri menjadikan mereka sebagai agen kolonial dengan jalan menyogok mereka dengan harta, mengiming-iming mereka dengan perempuan dan meletakan mereka dalam jeratan mereka, dan menjatuhkan mereka dengan cara menobatkan mereka sebagai penguasa dan pemimpin Negara agar mereka tidak mampu keluar dari politik kaum kolonialis itu.
Adapun Hasan Al-Banna –semoga Allah merahmatinya– maka Beliau telah selamat dari mala petaka perempuan, harta dan jabatan. Rober Jakcson mengatakan: “Iming-iming melalui tiga hal ini yang dipaksakan oleh penjajah terahadap para Mujahidinin menemui kegagalan dalam berbagai percobaan dan telah diupayakan untuk mengiming-iming Hasan Al-Banna.”
Robert Jackson berkomentar tentang Beliau: “Madzhab politik Hasan Al-Banna adalah mengembalikan materi moral (akhlak) ke dalam relung politik setelah materi tersebut dicabut dari politik dan setelah dikatakan bahwa politik dan akhlak tidak dapat bersatu.
Beberapa sahabat yang saya cintai di mana saya tidak munmgkin menolak permintaan mereka, telah menasehati saya dan mengusulkan pada saya agar menulis Fiqih Politik Hasan Al-Banna – semoga Allah merahmatinya – sebagai bentuk kepedulian terhadap Beliau dan pemikiran Beliau setelah kematian Beliau dan sebagai penyebaran manfaat bagi pengikut dan pecinta Beliau. Saya juga telah menemukan dalam diri saya suatu keinginan yang sama dengan keinginan sahabat-sahabat saya yang harus saya perkenankan dan perhatikan permintaan mereka.
Maka sayapun setia dalam membaca berbagai risalah, diktat Beliau, berbagai tulisan yang diberikan kepada saya dan apa yang ditulis tentang Beliau. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah membantu saya untuk menulis buku yang tipis ini yang saya beri nama: “Fiqih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna” Rahimahullah.
Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
No comments:
Post a Comment