Tuesday, November 10, 2009
Lazimi berzikir
Kurang zikir ... kurang hubungan dengan Allah. Bagaimana kita boleh berharap untuk dapat merasakan ketenangan tanpa Allah di sisi ?
Wednesday, August 05, 2009
Nisfu Syaaban lagi
( Diubahsuai ke BM dari B. Indonesia)
Soalan :
Ustaz,
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya'ban ? Adakah Sirah yang melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyambutnya ?
Terima kasih, Jazakumullah......
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Ashriyati Ishak
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ashriyati yang dimuliakan Allah,
Nisfu Sya’ban ertinya pertengahan bulan Sya’ban. Di dalam sejarah kaum muslimin ada pendapat bahwa pada saat itu terjadi perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke arah Masjidil Haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Maksudnya :
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allahlah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqarah : 142)
Al-Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbezaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya Rasulullah saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan di dalam Sahih Bukhori. Sedangkan ad-Daruquthni meriwayatkan dari al Barra yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Di dalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan Badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H. Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari Isnin, malam ke 12 dari bulan Rabi’ulawal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah Ka’bah pada hari Selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)
Lalu adakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ?
Terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan Sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a. berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain Ramadhan) adalah Sya’ban. Beliau saw berpuasa (sepanjang) bulan Sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa).”
Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu Sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.Sesungguhnya Allah swt turun hingga ke langit dunia semasa tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah, wahai orang yang memohon ampunan ! Maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah, wahai orang yang meminta rezeki ! Aku berikan rezeki. Ketahuilah, wahai orang yang sedang terkena musibah ! Maka Aku selamatkan. Ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadith-hadith itu lemah namun boleh diguna dalam menyatakan keutamaan amal.” Itu semua dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).
Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita Israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di tengah masyarakat dan di antara mereka ada yang menerimanya.
Ada juga ulama yang menyanggah iaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu menjadi dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.
Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.
Demikian pula di dalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)
Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa pendapat ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.
Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”
Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan berjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.
Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah-ibadah di atas tetap semata-mata kerana Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat di malam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya kerena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan zikir-zikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.
Dan hendaklah setiap muslim bersikap bijak menghadapi permasalahan ini tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya kerana bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.
Wallahu A’lam
Ust Sigit Pranowo
Soalan :
Ustaz,
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya'ban ? Adakah Sirah yang melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyambutnya ?
Terima kasih, Jazakumullah......
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Ashriyati Ishak
Jawaban
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ashriyati yang dimuliakan Allah,
Nisfu Sya’ban ertinya pertengahan bulan Sya’ban. Di dalam sejarah kaum muslimin ada pendapat bahwa pada saat itu terjadi perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke arah Masjidil Haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Maksudnya :
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allahlah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqarah : 142)
Al-Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbezaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya Rasulullah saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan di dalam Sahih Bukhori. Sedangkan ad-Daruquthni meriwayatkan dari al Barra yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Di dalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan Badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H. Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari Isnin, malam ke 12 dari bulan Rabi’ulawal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah Ka’bah pada hari Selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)
Lalu adakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ?
Terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan Sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a. berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain Ramadhan) adalah Sya’ban. Beliau saw berpuasa (sepanjang) bulan Sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa).”
Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu Sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.Sesungguhnya Allah swt turun hingga ke langit dunia semasa tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah, wahai orang yang memohon ampunan ! Maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah, wahai orang yang meminta rezeki ! Aku berikan rezeki. Ketahuilah, wahai orang yang sedang terkena musibah ! Maka Aku selamatkan. Ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadith-hadith itu lemah namun boleh diguna dalam menyatakan keutamaan amal.” Itu semua dilakukan secara sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).
Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita Israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di tengah masyarakat dan di antara mereka ada yang menerimanya.
Ada juga ulama yang menyanggah iaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu menjadi dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.
Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.
Demikian pula di dalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)
Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa pendapat ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.
Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”
Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan berjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.
Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah-ibadah di atas tetap semata-mata kerana Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat di malam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya kerena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan zikir-zikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.
Dan hendaklah setiap muslim bersikap bijak menghadapi permasalahan ini tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya kerana bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.
Wallahu A’lam
Ust Sigit Pranowo
Saturday, May 23, 2009
Tiga Tanda Kiamat Yang Harus Diantisipasi Dewasa Ini
3 Tanda Kiamat Yang Harus Diantisipasi Dewasa Ini
Ust. Ihsan Tandjung
Ada tiga tanda fenomenal dari tanda-tanda Kiamat yang perlu diantisipasi dewasa ini oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dua di antara ketiga tanda itu masuk dalam kategori tanda-tanda besar Kiamat. Satu lagi kadang dimasukkan ke dalam tanda besar, namun ada pula yang menyebutnya sebagai tanda penghubung antara tanda- tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat.
Tanda penghubung antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat ialah diutusnya Imam Mahdi. Imam Mahdi merupakan tanda Kiamat yang menghubungkan antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat karena datang pada saat dunia sudah menyaksikan munculnya seluruh tanda-tanda kecil Kiamat yang mendahului tanda-tanda besar Kiamat. Allah tidak akan mengizinkan tanda-tanda besar Kiamat datng sebelum berbagai tanda kecil Kiamat telah tuntas kemunculannya.
Banyak orang barangkali belum menyadari bahwa kondisi dunia dewasa ini ialah dalam kondisi dimana hampir segenap tanda-tanda kecil Kiamat yang diprediksikan oleh Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam telah bermunculan semua. Coba perhatikan beberapa contoh tanda-tanda kecil Kiamat berikut ini:
Ø Dan perceraian banyak terjadi ويكثر الطلاق
Ø Dan banyak terjadi kematian mendadak (tiba-tiba) و الموت الفجاء
Ø Dan banyak mushaf diberi hiasan (ornamen) و حلية المصاحف
Ø Dan masjid-masjid dibangun megah-megah و زخرفت المساجد
Ø Dan berbagai perjanjian dan transaksi dilanggar sepihak و نقضت العهود
Ø Dan berbagai peralatan musik dimainkan و استعملت المأزف
Ø Dan berbagai jenis khamr diminum manusia و شربت الخمور
Ø Dan perzinaan dilakukan terang-terangan و فخش الزنا
Ø Dan para pengkhianat dipercaya (diberi jabatan kepemimpinan) و اؤتمن الخائن
Ø Dan orang yang amanah dianggap pengkhianat (penjahat/teroris) و خون الأمين
Ø Tersebarnya Pena (banyak buku diterbitkan) ظهور القلم
Ø Pasar-pasar (Mall, Plaza, Supermarket) Berdekatan تتقارب الأسواق
Ø Penumpahan darah dianggap ringan استخفاف بالدم
Ø Makan riba أكل الربا
Jadi kalau kita perhatikan, contoh-contoh di atas jelas sudah kita jumpai di zaman kita dewasa ini. Bahkan bila kita buka kitab para Ulama yang menghimpun hadits-hadits mengenai tanda-tanda kecil Kiamat, lalu kita baca satu per satu hadits-hadits tersebut hampir pasti setiap satu hadits selesai kita baca kita akan segera bergumam di dalam hati: “Wah, yang ini sudah..!” Hal ini akan selalu terjadi setiap habis kita baca satu hadits. Laa haula wa laa quwwata illa billah....
Jika tanda-tanda kecil Kiamat sudah hampir muncul seluruhnya berarti kondisi dunia dewasa ini berada di ambang menyambut kedatangan tanda-tanda besar Kiamat. Dan bila asumsi ini benar, berarti dalam waktu dekat kita semua sudah harus bersiap-siap untuk menyambut datangnya tanda penghubung antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat, yaitu diutusnya Imam Mahdi ke tengah ummat Islam. Hal ini menjadi selaras dengan isyarat yang diungkapakan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengenai dua pra-kondisi menjelang diutusnya Imam Mahdi.
أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنْ النَّاسِ
وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا
“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kese-wenang-wenangan dan kezaliman.” (HR Ahmad)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan adanya dua prakondisi menjelang diutusnya Imam Mahdi ke tengah ummat Islam. Kedua prakondisi tersebut ialah pertama, banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan kedua, terjadinya gempa-gempa. Subhaanallah. Jika kita amati kondisi dunia saat ini sudah sangat sarat dengan perselisihan antar-manusia, baik yang bersifat antar-pribadi maupun antar-kelompok. Demikian pula dengan fenomena gempa sudah sangat tinggi frekuensi berlangsungnya belakangan ini.
Berarti kedatangan Imam Mahdi merupakan tanda Akhir Zaman yang jelas-jelas harus kita antisipasi dalam waktu dekat ini. Dan jika sudah terjadi berarti kitapun harus segera mempersiapkan diri untuk mematuhi perintah Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang berkaitan dengan kemunculan Imam Mahdi. Kita diperintahkan untuk segera berbai’at dan bergabung ke dalam barisannya sebab episode-episode berikutnya merupakan rangkaian perang yang dipimpin Imam Mahdi untuk menaklukkan negeri-negeri yang dipimpin oleh para Mulkan Jabriyyan (Para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ
“Ketika kalian melihatnya (Imam Mahdi) maka ber-bai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Ibnu Majah)
Imam Mahdi akan mengibarkan panji-panji Al-Jihad Fi Sabilillah untuk memerdekakan negeri-negeri yang selama ini dikuasai oleh para Mulkan Jabriyyan (Para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya). Beliau akan mengawali suatu proyek besar membebaskan dunia dari penghambaan manusia kepada sesama manusia untuk hanya menghamba kepada Allah semata, Penguasa Tunggal dan Sejati langit dan bumi. Beliau akan memastikan bahwa dunia diisi dengan sistem dan peradaban yang mencerminkan kalimatthoyyibah Laa ilaha illAllah Muhammadur Rasulullah dari ujung paling timur hingga ujung paling barat.
Ghazawaat (perang-perang) tersebut akan dimulai dari jazirah Arab kemudian Persia (Iran) kemudian Ruum (Eropa dan Amerika) kemudian terakhir melawan pasukan Yahudi yang dipimpin langsung oleh puncak fitnah, yaitu Dajjal. Dan uniknya pasukan Imam Mahdi Insya Allah akan diizinkan Allah untuk senantiasa meraih kemenangan dalam berbagai perang tersebut.
تَغْزُونَ جَزِيرَةَ الْعَرَبِ فَيَفْتَحُهَا اللَّهُ ثُمَّ فَارِسَ فَيَفْتَحُهَا اللَّهُ
ثُمَّ تَغْزُونَ الرُّومَ فَيَفْتَحُهَا اللَّهُ ثُمَّ تَغْزُونَ الدَّجَّالَ فَيَفْتَحُهُ اللَّهُ
“Kalian akan perangi jazirah Arab dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan menghadapi Persia dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan perangi Ruum dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan perangi Dajjal dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya.” (HR Muslim)
Lalu kapan Nabiyullah Isa ’alihis-salaam akan turun dari langit diantar oleh dua malaikat di kanan dan kirinya? Menurut hadits-hadits yang ada Nabi Isa putra Maryam ’alihis-salaam akan datang sesudah pasukan Imam Mahdi selesai memerangi pasukan Ruum menjelang menghadapi perang berikutnya melawan pasukan Dajjal. Pada saat itulah Nabi Isa ’alihis-salaam akan Allah taqdirkan turun ke muka bumi untuk digabungkan ke dalam pasukan Imam Mahdi dan membunuh Dajjal dengan izin Allah.
Begitu Imam Mahdi dan pasukannya mendengar kabar bahwa Dajjal telah hadir dan mulai merajalela menebar fitnah dan kekacauan di muka bumi, maka Imam Mahdi mengkonsolidasi pasukannya ke kota Damaskus. Lalu pada saat pasukan Imam Mahdi menjelang sholat Subuh di sebuah masjid yang berlokasi di sebelah timur kota Damaskus tiba-tiba turunlah Nabi Isa ’alihis-salaam diantar dua malaikat di menara putih masjid tersebut. Maka Imam Mahdi langsung mempersilahkan Nabi Isa ’alihis-salaam untuk mengimami sholat Subuh, namun ditolak olehnya dan malah Nabi Isa ’alihis-salaam menyuruh Imam Mahdi untuk menjadi imam sholat Subuh tersebut sedangkan Nabi Isa ’alihis-salaam makmum di belakangnya. Subhanallah.
" ينزل عيسى بن مريم ، فيقول أميرهم المهدي : تعال صل بنا ،
فيقول : لا إن بعضهم أمير بعض ، تكرمة الله لهذه الأمة " .
"Turunlah Isa putra Maryam ’alihis-salaam. Berkata pemimpin mereka Al-Mahdi: "Mari pimpin sholat kami." Berkata Isa ’alihis-salaam: "Tidak. Sesungguhnya sebagian mereka pemimpin bagi yang lainnya sebagai penghormatan Allah bagi Ummat ini." (Al Al-Bani dalam ”As-Salsalatu Ash-Shohihah”)
Saudaraku, marilah kita bersiap-siap mengantisipasi kedatangan tanda-tanda Akhir Zaman yang sangat fenomenal ini. Tanda-tanda yang akan merubah wajah dunia dari kondisi penuh kezaliman dewasa ini menuju keadilan di bawah naungan Syariat Allah dan kepemimpinan Imam Mahdi beserta Nabiyullah Isa ’alihis-salaam.
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam barisan pasukan Imam Mahdi yang akan memperoleh satu dari dua kebaikan: ’Isy Kariman (hidup mulia di bawah naungan Syariat Allah) au mut syahidan (atau Mati Syahid). Amin ya Rabb.
Ust. Ihsan Tandjung
Ada tiga tanda fenomenal dari tanda-tanda Kiamat yang perlu diantisipasi dewasa ini oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dua di antara ketiga tanda itu masuk dalam kategori tanda-tanda besar Kiamat. Satu lagi kadang dimasukkan ke dalam tanda besar, namun ada pula yang menyebutnya sebagai tanda penghubung antara tanda- tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat.
Tanda penghubung antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat ialah diutusnya Imam Mahdi. Imam Mahdi merupakan tanda Kiamat yang menghubungkan antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat karena datang pada saat dunia sudah menyaksikan munculnya seluruh tanda-tanda kecil Kiamat yang mendahului tanda-tanda besar Kiamat. Allah tidak akan mengizinkan tanda-tanda besar Kiamat datng sebelum berbagai tanda kecil Kiamat telah tuntas kemunculannya.
Banyak orang barangkali belum menyadari bahwa kondisi dunia dewasa ini ialah dalam kondisi dimana hampir segenap tanda-tanda kecil Kiamat yang diprediksikan oleh Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam telah bermunculan semua. Coba perhatikan beberapa contoh tanda-tanda kecil Kiamat berikut ini:
Ø Dan perceraian banyak terjadi ويكثر الطلاق
Ø Dan banyak terjadi kematian mendadak (tiba-tiba) و الموت الفجاء
Ø Dan banyak mushaf diberi hiasan (ornamen) و حلية المصاحف
Ø Dan masjid-masjid dibangun megah-megah و زخرفت المساجد
Ø Dan berbagai perjanjian dan transaksi dilanggar sepihak و نقضت العهود
Ø Dan berbagai peralatan musik dimainkan و استعملت المأزف
Ø Dan berbagai jenis khamr diminum manusia و شربت الخمور
Ø Dan perzinaan dilakukan terang-terangan و فخش الزنا
Ø Dan para pengkhianat dipercaya (diberi jabatan kepemimpinan) و اؤتمن الخائن
Ø Dan orang yang amanah dianggap pengkhianat (penjahat/teroris) و خون الأمين
Ø Tersebarnya Pena (banyak buku diterbitkan) ظهور القلم
Ø Pasar-pasar (Mall, Plaza, Supermarket) Berdekatan تتقارب الأسواق
Ø Penumpahan darah dianggap ringan استخفاف بالدم
Ø Makan riba أكل الربا
Jadi kalau kita perhatikan, contoh-contoh di atas jelas sudah kita jumpai di zaman kita dewasa ini. Bahkan bila kita buka kitab para Ulama yang menghimpun hadits-hadits mengenai tanda-tanda kecil Kiamat, lalu kita baca satu per satu hadits-hadits tersebut hampir pasti setiap satu hadits selesai kita baca kita akan segera bergumam di dalam hati: “Wah, yang ini sudah..!” Hal ini akan selalu terjadi setiap habis kita baca satu hadits. Laa haula wa laa quwwata illa billah....
Jika tanda-tanda kecil Kiamat sudah hampir muncul seluruhnya berarti kondisi dunia dewasa ini berada di ambang menyambut kedatangan tanda-tanda besar Kiamat. Dan bila asumsi ini benar, berarti dalam waktu dekat kita semua sudah harus bersiap-siap untuk menyambut datangnya tanda penghubung antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat, yaitu diutusnya Imam Mahdi ke tengah ummat Islam. Hal ini menjadi selaras dengan isyarat yang diungkapakan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengenai dua pra-kondisi menjelang diutusnya Imam Mahdi.
أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ يُبْعَثُ فِي أُمَّتِي عَلَى اخْتِلَافٍ مِنْ النَّاسِ
وَزَلَازِلَ فَيَمْلَأُ الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلًا كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا
“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kese-wenang-wenangan dan kezaliman.” (HR Ahmad)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengisyaratkan adanya dua prakondisi menjelang diutusnya Imam Mahdi ke tengah ummat Islam. Kedua prakondisi tersebut ialah pertama, banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan kedua, terjadinya gempa-gempa. Subhaanallah. Jika kita amati kondisi dunia saat ini sudah sangat sarat dengan perselisihan antar-manusia, baik yang bersifat antar-pribadi maupun antar-kelompok. Demikian pula dengan fenomena gempa sudah sangat tinggi frekuensi berlangsungnya belakangan ini.
Berarti kedatangan Imam Mahdi merupakan tanda Akhir Zaman yang jelas-jelas harus kita antisipasi dalam waktu dekat ini. Dan jika sudah terjadi berarti kitapun harus segera mempersiapkan diri untuk mematuhi perintah Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang berkaitan dengan kemunculan Imam Mahdi. Kita diperintahkan untuk segera berbai’at dan bergabung ke dalam barisannya sebab episode-episode berikutnya merupakan rangkaian perang yang dipimpin Imam Mahdi untuk menaklukkan negeri-negeri yang dipimpin oleh para Mulkan Jabriyyan (Para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَبَايِعُوهُ وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ فَإِنَّهُ خَلِيفَةُ اللَّهِ الْمَهْدِيُّ
“Ketika kalian melihatnya (Imam Mahdi) maka ber-bai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Ibnu Majah)
Imam Mahdi akan mengibarkan panji-panji Al-Jihad Fi Sabilillah untuk memerdekakan negeri-negeri yang selama ini dikuasai oleh para Mulkan Jabriyyan (Para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya). Beliau akan mengawali suatu proyek besar membebaskan dunia dari penghambaan manusia kepada sesama manusia untuk hanya menghamba kepada Allah semata, Penguasa Tunggal dan Sejati langit dan bumi. Beliau akan memastikan bahwa dunia diisi dengan sistem dan peradaban yang mencerminkan kalimatthoyyibah Laa ilaha illAllah Muhammadur Rasulullah dari ujung paling timur hingga ujung paling barat.
Ghazawaat (perang-perang) tersebut akan dimulai dari jazirah Arab kemudian Persia (Iran) kemudian Ruum (Eropa dan Amerika) kemudian terakhir melawan pasukan Yahudi yang dipimpin langsung oleh puncak fitnah, yaitu Dajjal. Dan uniknya pasukan Imam Mahdi Insya Allah akan diizinkan Allah untuk senantiasa meraih kemenangan dalam berbagai perang tersebut.
تَغْزُونَ جَزِيرَةَ الْعَرَبِ فَيَفْتَحُهَا اللَّهُ ثُمَّ فَارِسَ فَيَفْتَحُهَا اللَّهُ
ثُمَّ تَغْزُونَ الرُّومَ فَيَفْتَحُهَا اللَّهُ ثُمَّ تَغْزُونَ الدَّجَّالَ فَيَفْتَحُهُ اللَّهُ
“Kalian akan perangi jazirah Arab dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan menghadapi Persia dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan perangi Ruum dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan perangi Dajjal dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya.” (HR Muslim)
Lalu kapan Nabiyullah Isa ’alihis-salaam akan turun dari langit diantar oleh dua malaikat di kanan dan kirinya? Menurut hadits-hadits yang ada Nabi Isa putra Maryam ’alihis-salaam akan datang sesudah pasukan Imam Mahdi selesai memerangi pasukan Ruum menjelang menghadapi perang berikutnya melawan pasukan Dajjal. Pada saat itulah Nabi Isa ’alihis-salaam akan Allah taqdirkan turun ke muka bumi untuk digabungkan ke dalam pasukan Imam Mahdi dan membunuh Dajjal dengan izin Allah.
Begitu Imam Mahdi dan pasukannya mendengar kabar bahwa Dajjal telah hadir dan mulai merajalela menebar fitnah dan kekacauan di muka bumi, maka Imam Mahdi mengkonsolidasi pasukannya ke kota Damaskus. Lalu pada saat pasukan Imam Mahdi menjelang sholat Subuh di sebuah masjid yang berlokasi di sebelah timur kota Damaskus tiba-tiba turunlah Nabi Isa ’alihis-salaam diantar dua malaikat di menara putih masjid tersebut. Maka Imam Mahdi langsung mempersilahkan Nabi Isa ’alihis-salaam untuk mengimami sholat Subuh, namun ditolak olehnya dan malah Nabi Isa ’alihis-salaam menyuruh Imam Mahdi untuk menjadi imam sholat Subuh tersebut sedangkan Nabi Isa ’alihis-salaam makmum di belakangnya. Subhanallah.
" ينزل عيسى بن مريم ، فيقول أميرهم المهدي : تعال صل بنا ،
فيقول : لا إن بعضهم أمير بعض ، تكرمة الله لهذه الأمة " .
"Turunlah Isa putra Maryam ’alihis-salaam. Berkata pemimpin mereka Al-Mahdi: "Mari pimpin sholat kami." Berkata Isa ’alihis-salaam: "Tidak. Sesungguhnya sebagian mereka pemimpin bagi yang lainnya sebagai penghormatan Allah bagi Ummat ini." (Al Al-Bani dalam ”As-Salsalatu Ash-Shohihah”)
Saudaraku, marilah kita bersiap-siap mengantisipasi kedatangan tanda-tanda Akhir Zaman yang sangat fenomenal ini. Tanda-tanda yang akan merubah wajah dunia dari kondisi penuh kezaliman dewasa ini menuju keadilan di bawah naungan Syariat Allah dan kepemimpinan Imam Mahdi beserta Nabiyullah Isa ’alihis-salaam.
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam barisan pasukan Imam Mahdi yang akan memperoleh satu dari dua kebaikan: ’Isy Kariman (hidup mulia di bawah naungan Syariat Allah) au mut syahidan (atau Mati Syahid). Amin ya Rabb.
Wednesday, April 08, 2009
Kematian Hati ( Tazkirah Ust Rahmat Abdullah)
Banyak orang tertawa tanpa mahu menyadari sang maut sedang mengintainya.
Banyak orang cepat datang ke saf solat bagaikan orang yang amat merindukan kekasih. Tapi sayangnya ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.
Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.
Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.
Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut kerana puasa atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan kepetahan lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.
Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gementar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku kerana ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengaku amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan dirinya, atau tidak mahu kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya?
Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?
Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. <--> Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.
Ke mana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?
Saat engkau merasa mual melihat laki-laki pondan berpakaian perempuan, kerana kau sangat mendukung ustazmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, adakah tertawa riang menonton aksi mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak Islamik" bererti ia paling Islamik, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH dis ana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.
Justeru engkau akan dihadang cabaran sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga di depan ribuan massa.
Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak tersasar 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.
Banyak orang cepat datang ke saf solat bagaikan orang yang amat merindukan kekasih. Tapi sayangnya ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.
Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.
Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.
Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut kerana puasa atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan kepetahan lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.
Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gementar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku kerana ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengaku amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan dirinya, atau tidak mahu kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya?
Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?
Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. <--> Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.
Ke mana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?
Saat engkau merasa mual melihat laki-laki pondan berpakaian perempuan, kerana kau sangat mendukung ustazmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berpakaian perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, adakah tertawa riang menonton aksi mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak Islamik" bererti ia paling Islamik, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH dis ana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.
Justeru engkau akan dihadang cabaran sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga di depan ribuan massa.
Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak tersasar 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.
Wednesday, April 01, 2009
Thursday, March 19, 2009
God-fearing Aalim
God-fearing ‘Aalim and his importance to the Ummah
by Imâm al-Haramain 'Abdul-Bârî ibn ‘Awad ath-Thubaytî
All praise is due to Allaah, Lord of all the worlds. May peace and blessings be upon our Prophet Muhammad saws, his household, his companions and all those who follow their guidance till the Day of Reckoning.Islaam respects the ‘Ulamaa and reveres them because they are the heirs of the Prophets who follow their way. Infact, it is in respect to their dignity and merit that Allaah mentions them along with His Name and that of His Angels when He says:
“Allah bears witness that Laa ilaaha illa Huwa (none has the right to be worshipped but He), and the angels, and those having knowledge (also give witness); (He is always) maintaining His creation in Justice.” (Aal ‘Imraan 3:18).
It is enough a distinction for the ‘Aalim that Allaah sends blessings to him; and His angels and the inhabitants of the heavens and the earth also do ask Allaah to bless him. The Messenger of Allaah saws said:
“Verily, Allaah do send His blessings to him who teaches people good. Also, the inhabitants of the heavens and the earth, even ants in their holes and fishes do ask Allaah to bless him.” (At-Tirmidhee).
‘Ulamaa are the friends of Allaah; they are the ones who really fear Allaah.
“It is only those who have knowledge among His slaves that fear Allaah.” (Faatir 35:28)
They bear the knowledge with the fear of Allaah, He then compensate them with great reward. Allaah says:
“Their reward with their Lord is (Eden) Paradise (Gardens of Eternity), underneath which rivers flow, they will abide therein forever, Allaah Well-Pleased with them, and they with Him. This for him who fears his Lord.” (Al-Bayyinah 98:8).
Ibnul-Qayyim said:
“Scholars of Islaam and those around whose sayings revolves Fatwa (religious counselling) among people; those who are endowed with the ability to derive rulings from the (the Qur’anic and Hadeeth) texts and whose preoccupation is the regulation of the lawful and unlawful things are to the earth what the stars are to the heaven. It is through them that the confused get guidance and people’s need of them is greater than their need of food and drink. Allaah makes obeying them greater than obeying parents when He says: “O you who believe! Obey Allaah and obey the Messenger (Muhammad), and those of you (Muslims) who are in authority.” (An-Nisaa 4:59). The ‘Ulamaa are the people’s refuge during calamities. Many a blind people have seen through them; many a dead have been given live by them; many a Sunnah have been spread through them and many an innovation have been efaced through them.”
God-conscious ‘Ulamaa are leaders in piety; if they had wanted beauties and high positions of this world, it would have come to them submissively, but they live with their knowledge and meritorious deeds in a happiness that is far better than that of the people of worldly positions; that is because, their whole life revolves around no more than what Allaah and His Prophet saws say. They do not learn knowledge for adornment purpose but to benefit from it. Their impact is so strong that, if they walk on a barren land it becomes fertile and if they step their feet on a territory full of darkness it becomes illuminated. A ‘ Aalim in the real sense of the word, is not the holder of higher certificates and academic titles. He is rather the one who has a combination of knowledge, strong and deep Eemaan, obedience to his Lord and a lot of Ibaadaat (acts of worship). These are the people of knowledge whom Allaah describes as incomparable to others when He says:
“Are those who know equal to those who know not.” (Az-Zumar 39:9).
Ibn Al-Mubaarak was asked:
“How can a true knowledgeable man be recognised?’ He replied: ‘He is the one who is ascetic in this world and occupies himself with the affairs of the hereafter.”
Nevertheless, ‘Ulamaa should not be regarded as perfect beings who are immunised against any defects, errors or mistakes; for, this is quite impossible. However, one should not be looking for the mistakes of a knowledgeable man because he may have an excuse that is unknown to us or that, this mistake may have a reason which can not be perceived by us. If the Prophets -peace be on them- have the right to be honoured and revered, their inheritors should also have a share of that. The Messenger of Allaah saws said:
“The ‘Ulamaa are indeed the heirs of the Prophets.” (Aboo Daawood and others).
It is therefore incumbent on us to love them, to obey them in good, to defend them and ask for Allaah’s Mercy for those who are deceased among them. Ibn Abbaas ra said
: “Whoever annoys a knowledgeable man has annoyed the Messenger of Allaah; and whoever annoys the Messenger of Allaah has annoyed Allaah.”
Brothers in Islaam! Death of ‘Ulamaa is an irreparable loss to this Ummah. We beseech Allaah to forgive the deceased among them and to benefit us with the knowledge of the living ones.
Yes! Eyes do shed tears and hearts do get saddened, but if all of us shed our tears, that cannot change the situation nor prevent any harm. Actually, reaction of people of weak minds -after the death of ‘Ulamaa- do not go beyond shedding tears and mere wailings and lamentations; but people of lofty aims and enlightened minds do go beyond that for, they know that sincere love for those scholars means to live according to their way; to die on their path; to be good example in knowledge and good deeds; to be leaders in piety and humbleness; to be models in patience and perseverance and to be pace-setters in generousity and sacrifice. Such are the characteristics of the ‘Ulamaa and such should be the characteristics of those who love them. The ‘Ulamaa are not personalities whose virtues should merely be sung or written on pages without benefiting from their light. Ibraaheem ibn Habeeb said:
“My father told me: My son! Go to the ‘Ulamaa, take knowledge from them and learn from their manners, characters and guidance; that is dearer to me than your learning of many Hadeeths (without manners).”
Brethren in Faith! There is nothing strange in the death of ‘Ulamaa for, such is the end of all living creatures; but the big calamity and the greatest tribulation is when their knowledge dies with them and their illuminating legacies gets buried with them. Therefore, it is a matter of obligation for those who are indebted to these ‘Ulamaa -i.e. their children and students- to promptly bring out their scholastic treasures so that this Ummah and the coming generations may benefit there from.
Death of some ‘Ulamaa no doubt posses a big challenge to their contemporaries as well as other students of knowledge. They are obliged to fill the gap and keep the light of guidance burning.
Dear brothers, responsibilities of ‘Ulamaa vary according to the differences in levels of their knowledge. The responsibility of the person who has got a share of the Prophets’-peace be on them- Legacy is the fear of Allaah, constant remembrance of the hereafter, following the path of those Prophets, seeking knowledge for Allaah’s sake, high degree of moral character and striving to remove bonds of ignorance from the midst of this Ummah. It is improper to be an inheritor of the Prophets’ Legacy without being perfectly on their path.O you people of knowledge! Be trustees over this religion by saveguarding it from alterations and acquaint the Ummah with the realities of Islaam and lead it back to its pure sources: the Qur’aan and Sunnah. Protect the Ummah from epidemic tendencies and misleading ideologies. Do not hide the knowledge that Allaah has endowed you with. Allaah says:
“Those who conceal the clear proofs, evidences and the guidance, which We have sent down, after We have made it clear for the people in the Book, they are the ones cursed by Allaah and cursed by the cursers.” (Al-Baqarah 2:159).
O you people of knowledge! Dangerous is that discord and deadly contention which is rampant among you. Give harmony and mutual love a chance amongst yourselves and keep yourselves away from insignificant issues.
O people of knowledge! Let not your goal be mere attainment of academic titles and degrees lest you abandon your teaching roles in scholastic gatherings where the rising generation of ‘Ulamaa are being groomed. When you take a keen look at this Ummah, whose membership of over one billion Muslims scatter all over the world and you see that, a vast majority of them are engrossed in ignorance of their religion, you will realize for sure that the Ummah is in dire need of tens (of thousands) of God-fearing scholars; those who regard this world disdainfully and preffer what is with Allaah; that it is in need of ‘Ulamaa who will be vanguards of this religion, directing people to Allaah with their sayings and deeds and explaining to them the lawful and unlawful things. If not for the ‘Ulamaa, mankind would have been like beasts and people would have remained in perplexed state of ignorance. Yahyaa ibn Mu’aadh said:
“‘Ulamaa are more compassionate to the followers of Muhammad saws than their fathers and mothers... because, their fathers and mothers protect them from the hell of this world and the ‘Ulamaa protect them from the hell of the hereafter.’’
The Ummah is therefore in need of those ‘Ulamaa, whose deeds do actually have more impact on people than their words. Yes, the world is full of books which one can read and benefit from, but it can not make a God-fearing ‘Aalim dispensable, because, a ‘Aalim is a living example of knowledge and good deeds; an epitome of piety and righteousness.
Dear brothers! When you ponder over the histories of God-fearing ‘Ulamaa in the first stages of their learning, you will see that they had many contemporaries during this stage. But Allaah selected them and blessed them with extraordinary qualities that make them well-accepted and loved by the dwellers of the heaven and the earth. Allaah made them a direction of knowledge and meeting point of its seekers. Their love is very deep in people’s hearts and scenes of their funerals are enough an evidence for that. This mammoth crowd do not come out for their funerals because of their money, for, they usually do not leave any money behind, nor do these people trooped out because they were forced to. Such is the case of God-fearing ‘Ulamaa. Hundreds of years do pass after their death and yet their stories and remembrance remain fresh in people’s memories. Then let us ponder: How did these people attain what they have attained? It is by the power of knowledge, good deeds and sincerity. They were truthful with their Lord so He treated them with truth.
Brethren in Faith! The ‘Ulamaa do die and others also do die. But there is difference between two deaths. Far is the difference between a death after a life that was full of generousity and through which Allaah revived a set of people and brought light to them after they had been in darkness; and a death after a slugish life ridden with weak piety and preocuppied with mundane affairs. When the ‘Ulamaa die, their knowledge perpetuate for them in this earth a new life, their names are engraved in peoples’s hearts as a result of the useful knowledge they leave behind and their written works that seekers of knowledge devote themselves to. But as regards others, some of them die before the actual death comes to them. They may even not have any good mention while they are alive nor any prayer for Allaah’s Mercy on them when they die.The companions of the Prophet saws were overpowered by despair and confusion after his death because of their burning love for him. Aboo Bakr ra then came and said his famous saying:
“Whoever used to worship Muhammad r should be aware that Muhammad r is now dead and whoever used to worship Allaah should know that Allaah is Ever-Living, Immortal.”
The Islamic Faith shall remain and the Divine Message shall survive. The religion survived after the death of the Messengers -peace be on them-; it survived after the death of Muhammad saws and it shall survive after the death of some ‘Ulamaa. There should be no pessimism nor weakness no matter how great the calamity may be. The Religion is Allaah’s and He has guaranteed its safety and victory. Allaah says:
“It is He Who has His Messenger (Muhammad) with guidance and the rreligion of truth (Islam), to make it superior over all religions even though the Mushrikun (polytheists, pagans, idolaters, disbelievers in the Oneness of Allaah) hate (it).” (At-Tawbah 9:33).
Therefore, we should not lose hope at all in the Mercy of Allaah for, the Prophet saws has assured us thus:
“A group of my nation will ever be consistently prevalent with the truth they shall abide by; those who forsake them will not be able to harm them. They shall remain so until the command of Allaah comes.” (Muslim).
In view of all this, this Ummah is so fortunate that Allaah has made it the True Community and promised that He shall never forsake it. He endowed it with ‘Ulamaa who are the inheritors of the Prophets and He has not left this Ummah throughout her history in a period without ‘Ulamaa so much so that each time a ‘Aalim dies Allaah substitute him with many of his contemporaries and his like to continue keeping the religion upright. All praise be to Allaah.
by Imâm al-Haramain 'Abdul-Bârî ibn ‘Awad ath-Thubaytî
All praise is due to Allaah, Lord of all the worlds. May peace and blessings be upon our Prophet Muhammad saws, his household, his companions and all those who follow their guidance till the Day of Reckoning.Islaam respects the ‘Ulamaa and reveres them because they are the heirs of the Prophets who follow their way. Infact, it is in respect to their dignity and merit that Allaah mentions them along with His Name and that of His Angels when He says:
“Allah bears witness that Laa ilaaha illa Huwa (none has the right to be worshipped but He), and the angels, and those having knowledge (also give witness); (He is always) maintaining His creation in Justice.” (Aal ‘Imraan 3:18).
It is enough a distinction for the ‘Aalim that Allaah sends blessings to him; and His angels and the inhabitants of the heavens and the earth also do ask Allaah to bless him. The Messenger of Allaah saws said:
“Verily, Allaah do send His blessings to him who teaches people good. Also, the inhabitants of the heavens and the earth, even ants in their holes and fishes do ask Allaah to bless him.” (At-Tirmidhee).
‘Ulamaa are the friends of Allaah; they are the ones who really fear Allaah.
“It is only those who have knowledge among His slaves that fear Allaah.” (Faatir 35:28)
They bear the knowledge with the fear of Allaah, He then compensate them with great reward. Allaah says:
“Their reward with their Lord is (Eden) Paradise (Gardens of Eternity), underneath which rivers flow, they will abide therein forever, Allaah Well-Pleased with them, and they with Him. This for him who fears his Lord.” (Al-Bayyinah 98:8).
Ibnul-Qayyim said:
“Scholars of Islaam and those around whose sayings revolves Fatwa (religious counselling) among people; those who are endowed with the ability to derive rulings from the (the Qur’anic and Hadeeth) texts and whose preoccupation is the regulation of the lawful and unlawful things are to the earth what the stars are to the heaven. It is through them that the confused get guidance and people’s need of them is greater than their need of food and drink. Allaah makes obeying them greater than obeying parents when He says: “O you who believe! Obey Allaah and obey the Messenger (Muhammad), and those of you (Muslims) who are in authority.” (An-Nisaa 4:59). The ‘Ulamaa are the people’s refuge during calamities. Many a blind people have seen through them; many a dead have been given live by them; many a Sunnah have been spread through them and many an innovation have been efaced through them.”
God-conscious ‘Ulamaa are leaders in piety; if they had wanted beauties and high positions of this world, it would have come to them submissively, but they live with their knowledge and meritorious deeds in a happiness that is far better than that of the people of worldly positions; that is because, their whole life revolves around no more than what Allaah and His Prophet saws say. They do not learn knowledge for adornment purpose but to benefit from it. Their impact is so strong that, if they walk on a barren land it becomes fertile and if they step their feet on a territory full of darkness it becomes illuminated. A ‘ Aalim in the real sense of the word, is not the holder of higher certificates and academic titles. He is rather the one who has a combination of knowledge, strong and deep Eemaan, obedience to his Lord and a lot of Ibaadaat (acts of worship). These are the people of knowledge whom Allaah describes as incomparable to others when He says:
“Are those who know equal to those who know not.” (Az-Zumar 39:9).
Ibn Al-Mubaarak was asked:
“How can a true knowledgeable man be recognised?’ He replied: ‘He is the one who is ascetic in this world and occupies himself with the affairs of the hereafter.”
Nevertheless, ‘Ulamaa should not be regarded as perfect beings who are immunised against any defects, errors or mistakes; for, this is quite impossible. However, one should not be looking for the mistakes of a knowledgeable man because he may have an excuse that is unknown to us or that, this mistake may have a reason which can not be perceived by us. If the Prophets -peace be on them- have the right to be honoured and revered, their inheritors should also have a share of that. The Messenger of Allaah saws said:
“The ‘Ulamaa are indeed the heirs of the Prophets.” (Aboo Daawood and others).
It is therefore incumbent on us to love them, to obey them in good, to defend them and ask for Allaah’s Mercy for those who are deceased among them. Ibn Abbaas ra said
: “Whoever annoys a knowledgeable man has annoyed the Messenger of Allaah; and whoever annoys the Messenger of Allaah has annoyed Allaah.”
Brothers in Islaam! Death of ‘Ulamaa is an irreparable loss to this Ummah. We beseech Allaah to forgive the deceased among them and to benefit us with the knowledge of the living ones.
Yes! Eyes do shed tears and hearts do get saddened, but if all of us shed our tears, that cannot change the situation nor prevent any harm. Actually, reaction of people of weak minds -after the death of ‘Ulamaa- do not go beyond shedding tears and mere wailings and lamentations; but people of lofty aims and enlightened minds do go beyond that for, they know that sincere love for those scholars means to live according to their way; to die on their path; to be good example in knowledge and good deeds; to be leaders in piety and humbleness; to be models in patience and perseverance and to be pace-setters in generousity and sacrifice. Such are the characteristics of the ‘Ulamaa and such should be the characteristics of those who love them. The ‘Ulamaa are not personalities whose virtues should merely be sung or written on pages without benefiting from their light. Ibraaheem ibn Habeeb said:
“My father told me: My son! Go to the ‘Ulamaa, take knowledge from them and learn from their manners, characters and guidance; that is dearer to me than your learning of many Hadeeths (without manners).”
Brethren in Faith! There is nothing strange in the death of ‘Ulamaa for, such is the end of all living creatures; but the big calamity and the greatest tribulation is when their knowledge dies with them and their illuminating legacies gets buried with them. Therefore, it is a matter of obligation for those who are indebted to these ‘Ulamaa -i.e. their children and students- to promptly bring out their scholastic treasures so that this Ummah and the coming generations may benefit there from.
Death of some ‘Ulamaa no doubt posses a big challenge to their contemporaries as well as other students of knowledge. They are obliged to fill the gap and keep the light of guidance burning.
Dear brothers, responsibilities of ‘Ulamaa vary according to the differences in levels of their knowledge. The responsibility of the person who has got a share of the Prophets’-peace be on them- Legacy is the fear of Allaah, constant remembrance of the hereafter, following the path of those Prophets, seeking knowledge for Allaah’s sake, high degree of moral character and striving to remove bonds of ignorance from the midst of this Ummah. It is improper to be an inheritor of the Prophets’ Legacy without being perfectly on their path.O you people of knowledge! Be trustees over this religion by saveguarding it from alterations and acquaint the Ummah with the realities of Islaam and lead it back to its pure sources: the Qur’aan and Sunnah. Protect the Ummah from epidemic tendencies and misleading ideologies. Do not hide the knowledge that Allaah has endowed you with. Allaah says:
“Those who conceal the clear proofs, evidences and the guidance, which We have sent down, after We have made it clear for the people in the Book, they are the ones cursed by Allaah and cursed by the cursers.” (Al-Baqarah 2:159).
O you people of knowledge! Dangerous is that discord and deadly contention which is rampant among you. Give harmony and mutual love a chance amongst yourselves and keep yourselves away from insignificant issues.
O people of knowledge! Let not your goal be mere attainment of academic titles and degrees lest you abandon your teaching roles in scholastic gatherings where the rising generation of ‘Ulamaa are being groomed. When you take a keen look at this Ummah, whose membership of over one billion Muslims scatter all over the world and you see that, a vast majority of them are engrossed in ignorance of their religion, you will realize for sure that the Ummah is in dire need of tens (of thousands) of God-fearing scholars; those who regard this world disdainfully and preffer what is with Allaah; that it is in need of ‘Ulamaa who will be vanguards of this religion, directing people to Allaah with their sayings and deeds and explaining to them the lawful and unlawful things. If not for the ‘Ulamaa, mankind would have been like beasts and people would have remained in perplexed state of ignorance. Yahyaa ibn Mu’aadh said:
“‘Ulamaa are more compassionate to the followers of Muhammad saws than their fathers and mothers... because, their fathers and mothers protect them from the hell of this world and the ‘Ulamaa protect them from the hell of the hereafter.’’
The Ummah is therefore in need of those ‘Ulamaa, whose deeds do actually have more impact on people than their words. Yes, the world is full of books which one can read and benefit from, but it can not make a God-fearing ‘Aalim dispensable, because, a ‘Aalim is a living example of knowledge and good deeds; an epitome of piety and righteousness.
Dear brothers! When you ponder over the histories of God-fearing ‘Ulamaa in the first stages of their learning, you will see that they had many contemporaries during this stage. But Allaah selected them and blessed them with extraordinary qualities that make them well-accepted and loved by the dwellers of the heaven and the earth. Allaah made them a direction of knowledge and meeting point of its seekers. Their love is very deep in people’s hearts and scenes of their funerals are enough an evidence for that. This mammoth crowd do not come out for their funerals because of their money, for, they usually do not leave any money behind, nor do these people trooped out because they were forced to. Such is the case of God-fearing ‘Ulamaa. Hundreds of years do pass after their death and yet their stories and remembrance remain fresh in people’s memories. Then let us ponder: How did these people attain what they have attained? It is by the power of knowledge, good deeds and sincerity. They were truthful with their Lord so He treated them with truth.
Brethren in Faith! The ‘Ulamaa do die and others also do die. But there is difference between two deaths. Far is the difference between a death after a life that was full of generousity and through which Allaah revived a set of people and brought light to them after they had been in darkness; and a death after a slugish life ridden with weak piety and preocuppied with mundane affairs. When the ‘Ulamaa die, their knowledge perpetuate for them in this earth a new life, their names are engraved in peoples’s hearts as a result of the useful knowledge they leave behind and their written works that seekers of knowledge devote themselves to. But as regards others, some of them die before the actual death comes to them. They may even not have any good mention while they are alive nor any prayer for Allaah’s Mercy on them when they die.The companions of the Prophet saws were overpowered by despair and confusion after his death because of their burning love for him. Aboo Bakr ra then came and said his famous saying:
“Whoever used to worship Muhammad r should be aware that Muhammad r is now dead and whoever used to worship Allaah should know that Allaah is Ever-Living, Immortal.”
The Islamic Faith shall remain and the Divine Message shall survive. The religion survived after the death of the Messengers -peace be on them-; it survived after the death of Muhammad saws and it shall survive after the death of some ‘Ulamaa. There should be no pessimism nor weakness no matter how great the calamity may be. The Religion is Allaah’s and He has guaranteed its safety and victory. Allaah says:
“It is He Who has His Messenger (Muhammad) with guidance and the rreligion of truth (Islam), to make it superior over all religions even though the Mushrikun (polytheists, pagans, idolaters, disbelievers in the Oneness of Allaah) hate (it).” (At-Tawbah 9:33).
Therefore, we should not lose hope at all in the Mercy of Allaah for, the Prophet saws has assured us thus:
“A group of my nation will ever be consistently prevalent with the truth they shall abide by; those who forsake them will not be able to harm them. They shall remain so until the command of Allaah comes.” (Muslim).
In view of all this, this Ummah is so fortunate that Allaah has made it the True Community and promised that He shall never forsake it. He endowed it with ‘Ulamaa who are the inheritors of the Prophets and He has not left this Ummah throughout her history in a period without ‘Ulamaa so much so that each time a ‘Aalim dies Allaah substitute him with many of his contemporaries and his like to continue keeping the religion upright. All praise be to Allaah.
Tuesday, March 17, 2009
Fiqh Siyasi
Hasan Al-Banna menjelaskan da’wah dalam berbagai sisinya: politik, da’wah, gerakan, penyusunan strategi, dan ekonomi.
Kajian terhadap pusaka mengenai tulisan-tulisan Hasan Al Banna perlu mendapatkan perhatian, terutama trkait fiqih politik (Fiqih Siyaasi) Beliau. Beliau merupakan seorang pembaru (mujaddid) abad keduapuluh tanpa perlu dipertentangkan. Beliau semasa hidupnya berpikir keras terhadap berbagai permasalahan dunia Islam dan terhadap keadaan ummat Islam, terutama masalah konspirasi terhadap negara Islam.
Beliau telah hidup di zaman kaum salibis yang memerangi dunia Islam, menghapus negara Islam Utsmaniyah, mengeluarkan statemen bahwa Ataturk melakukan skularisasi negara dan menghapus Khilafah, kemudian Perancis dan Inggris Raya membagi daerah itu setelah Perang Dunia Pertama (PD I) sesuai kesepakatan yang dilakukan oleh masing-masing utusan dari Ingris dan Perancis, Saix dan Bico, yang menamakan kesepakatan tersebut dengan kedua nama mreka (Kesepakatan Saix-Bico).
Imam Hasan Al Banna telah menyaksikan perpecahan dunia Islam menjadi negara-negara jajahan yang dijajah oleh negara-negara kafir salibis, yang dibantu oleh negara ex Uni Soviet yang haus darah ummat Islam seperti di negara Chesnya, Kaukas serta kawasan lainnya.
Ustadz Hasan Al Banna berusaha mengumpulkan para ulama dan pemimpin untuk sebuah proyek kerja besar, yakni meneruskan kembali kehidupan Islam dan membebaskan negara-negara umat Islam dari kaum penjajah. Beliau melihat mayoritas kaum Muslimin dalam keadaan kehilangan semangat dan ketakutan yang sangat kentara. Tetapi Beliau tidak pustus asa terhadap berbagai situasi dan kondisi yang menhancurkan tersebut. Bahkan Beliau berinisiatif dimulai dari dirinya sendiri untuk bekerja, mengumpulkan dan menyusun rencana. Dengan beberapa suara Muslimnya, Beliau mendirikan Jama’ah Ikhwanul Muslimin di daerah Isma’iliyah.
Pemikiran Beliaupun diserap oleh banyak orang, sehingga menyebabkan Beliau dicintai sangat luas yang mana hal itu belum pernah terjadi untuk satu orangpun dari para pemimpin di daerahnya, lalu mereka mengikuti jalan dan pemikiran Beliau serta menjadi tentara dan pengikutnya.
Di antara hal yang tidak diragukan lagi ialah da’wah Beliau itu berkomitmen dengan Islam, baik sebagai aqidah, syari’ah dan sistem kehidupan. Beliau menjelaskan da’wah tersebut dalam berbagai sisinya: politis, da’wah, gerakan, penyusunan strategi dan ekonomi. Orang yang mengamati apa yang Beliau tulis dalam risalah-risalah dan diktat-diktat Beliau akan menemukan bahwa Imam Hasan Al Banna adala seorang pemimpin politik yang diikuti masyarakat banyak. Beliau memiliki pemahaman politik Islam (Fiqih Siyasi Islami) yang diambil dari pemahaman kalangan intelektual dan ulama Islam.
Benar, Beliau adalah seorang faqih dengan sebenarnya, politikus ulung, memiliki pengalaman yang luas, kejeniusan dan kedudukan yang disaksikan oleh setiap orang yang mengenalnya baik dari musuh maupun teman dalam kadar yang sama. Robert Jackson telah bertemu dengan Ustadz Hasan Al-Banna pada tahun 1946 mengatakan: “Saya memperkirakan akan datang suatu hari yang mana laki-laki ini mengusai kepemimpinan masyarakat, tidak hanya di Mesir, bahkan di seluruh wilayah Timur. Dr. Kamjian, seorang dosen ilmu politik di Universitas New York mengatakan: “Kemunculan Al-Banna merupakan contoh yang melambangkan kepribadian keluarga yang muncul pada waktu-waktu krisis untuk melakukan tugas kebebasan sosial spiritual.
Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.
Robert Jackson mengatakan tentang kepemimpinan Hasan Al-Banna: “Beliau adalah seorang yang paling jenius di antara para politisi, paling kuat di antara para pemimpin, paling berargumen di antara para ulama, paling beriman di antara para sufi, paling semangat di antara para atlit, paling tajam di antara para filsuf, paling diplomatis di antara para orator, dan paling bermisi di antara para penulis. Masing-masing sisi dari sisi-sisi ini muncul dengan istimewa pada waktu yang pas pula.
Dahulu politik penjajahan mengarahkan para pemimpin bangsa dari jihad politik mereka untuk membebaskan negeri menjadikan mereka sebagai agen kolonial dengan jalan menyogok mereka dengan harta, mengiming-iming mereka dengan perempuan dan meletakan mereka dalam jeratan mereka, dan menjatuhkan mereka dengan cara menobatkan mereka sebagai penguasa dan pemimpin Negara agar mereka tidak mampu keluar dari politik kaum kolonialis itu.
Adapun Hasan Al-Banna –semoga Allah merahmatinya– maka Beliau telah selamat dari mala petaka perempuan, harta dan jabatan. Rober Jakcson mengatakan: “Iming-iming melalui tiga hal ini yang dipaksakan oleh penjajah terahadap para Mujahidinin menemui kegagalan dalam berbagai percobaan dan telah diupayakan untuk mengiming-iming Hasan Al-Banna.”
Robert Jackson berkomentar tentang Beliau: “Madzhab politik Hasan Al-Banna adalah mengembalikan materi moral (akhlak) ke dalam relung politik setelah materi tersebut dicabut dari politik dan setelah dikatakan bahwa politik dan akhlak tidak dapat bersatu.
Beberapa sahabat yang saya cintai di mana saya tidak munmgkin menolak permintaan mereka, telah menasehati saya dan mengusulkan pada saya agar menulis Fiqih Politik Hasan Al-Banna – semoga Allah merahmatinya – sebagai bentuk kepedulian terhadap Beliau dan pemikiran Beliau setelah kematian Beliau dan sebagai penyebaran manfaat bagi pengikut dan pecinta Beliau. Saya juga telah menemukan dalam diri saya suatu keinginan yang sama dengan keinginan sahabat-sahabat saya yang harus saya perkenankan dan perhatikan permintaan mereka.
Maka sayapun setia dalam membaca berbagai risalah, diktat Beliau, berbagai tulisan yang diberikan kepada saya dan apa yang ditulis tentang Beliau. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah membantu saya untuk menulis buku yang tipis ini yang saya beri nama: “Fiqih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna” Rahimahullah.
Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
Kajian terhadap pusaka mengenai tulisan-tulisan Hasan Al Banna perlu mendapatkan perhatian, terutama trkait fiqih politik (Fiqih Siyaasi) Beliau. Beliau merupakan seorang pembaru (mujaddid) abad keduapuluh tanpa perlu dipertentangkan. Beliau semasa hidupnya berpikir keras terhadap berbagai permasalahan dunia Islam dan terhadap keadaan ummat Islam, terutama masalah konspirasi terhadap negara Islam.
Beliau telah hidup di zaman kaum salibis yang memerangi dunia Islam, menghapus negara Islam Utsmaniyah, mengeluarkan statemen bahwa Ataturk melakukan skularisasi negara dan menghapus Khilafah, kemudian Perancis dan Inggris Raya membagi daerah itu setelah Perang Dunia Pertama (PD I) sesuai kesepakatan yang dilakukan oleh masing-masing utusan dari Ingris dan Perancis, Saix dan Bico, yang menamakan kesepakatan tersebut dengan kedua nama mreka (Kesepakatan Saix-Bico).
Imam Hasan Al Banna telah menyaksikan perpecahan dunia Islam menjadi negara-negara jajahan yang dijajah oleh negara-negara kafir salibis, yang dibantu oleh negara ex Uni Soviet yang haus darah ummat Islam seperti di negara Chesnya, Kaukas serta kawasan lainnya.
Ustadz Hasan Al Banna berusaha mengumpulkan para ulama dan pemimpin untuk sebuah proyek kerja besar, yakni meneruskan kembali kehidupan Islam dan membebaskan negara-negara umat Islam dari kaum penjajah. Beliau melihat mayoritas kaum Muslimin dalam keadaan kehilangan semangat dan ketakutan yang sangat kentara. Tetapi Beliau tidak pustus asa terhadap berbagai situasi dan kondisi yang menhancurkan tersebut. Bahkan Beliau berinisiatif dimulai dari dirinya sendiri untuk bekerja, mengumpulkan dan menyusun rencana. Dengan beberapa suara Muslimnya, Beliau mendirikan Jama’ah Ikhwanul Muslimin di daerah Isma’iliyah.
Pemikiran Beliaupun diserap oleh banyak orang, sehingga menyebabkan Beliau dicintai sangat luas yang mana hal itu belum pernah terjadi untuk satu orangpun dari para pemimpin di daerahnya, lalu mereka mengikuti jalan dan pemikiran Beliau serta menjadi tentara dan pengikutnya.
Di antara hal yang tidak diragukan lagi ialah da’wah Beliau itu berkomitmen dengan Islam, baik sebagai aqidah, syari’ah dan sistem kehidupan. Beliau menjelaskan da’wah tersebut dalam berbagai sisinya: politis, da’wah, gerakan, penyusunan strategi dan ekonomi. Orang yang mengamati apa yang Beliau tulis dalam risalah-risalah dan diktat-diktat Beliau akan menemukan bahwa Imam Hasan Al Banna adala seorang pemimpin politik yang diikuti masyarakat banyak. Beliau memiliki pemahaman politik Islam (Fiqih Siyasi Islami) yang diambil dari pemahaman kalangan intelektual dan ulama Islam.
Benar, Beliau adalah seorang faqih dengan sebenarnya, politikus ulung, memiliki pengalaman yang luas, kejeniusan dan kedudukan yang disaksikan oleh setiap orang yang mengenalnya baik dari musuh maupun teman dalam kadar yang sama. Robert Jackson telah bertemu dengan Ustadz Hasan Al-Banna pada tahun 1946 mengatakan: “Saya memperkirakan akan datang suatu hari yang mana laki-laki ini mengusai kepemimpinan masyarakat, tidak hanya di Mesir, bahkan di seluruh wilayah Timur. Dr. Kamjian, seorang dosen ilmu politik di Universitas New York mengatakan: “Kemunculan Al-Banna merupakan contoh yang melambangkan kepribadian keluarga yang muncul pada waktu-waktu krisis untuk melakukan tugas kebebasan sosial spiritual.
Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.
Robert Jackson mengatakan tentang kepemimpinan Hasan Al-Banna: “Beliau adalah seorang yang paling jenius di antara para politisi, paling kuat di antara para pemimpin, paling berargumen di antara para ulama, paling beriman di antara para sufi, paling semangat di antara para atlit, paling tajam di antara para filsuf, paling diplomatis di antara para orator, dan paling bermisi di antara para penulis. Masing-masing sisi dari sisi-sisi ini muncul dengan istimewa pada waktu yang pas pula.
Dahulu politik penjajahan mengarahkan para pemimpin bangsa dari jihad politik mereka untuk membebaskan negeri menjadikan mereka sebagai agen kolonial dengan jalan menyogok mereka dengan harta, mengiming-iming mereka dengan perempuan dan meletakan mereka dalam jeratan mereka, dan menjatuhkan mereka dengan cara menobatkan mereka sebagai penguasa dan pemimpin Negara agar mereka tidak mampu keluar dari politik kaum kolonialis itu.
Adapun Hasan Al-Banna –semoga Allah merahmatinya– maka Beliau telah selamat dari mala petaka perempuan, harta dan jabatan. Rober Jakcson mengatakan: “Iming-iming melalui tiga hal ini yang dipaksakan oleh penjajah terahadap para Mujahidinin menemui kegagalan dalam berbagai percobaan dan telah diupayakan untuk mengiming-iming Hasan Al-Banna.”
Robert Jackson berkomentar tentang Beliau: “Madzhab politik Hasan Al-Banna adalah mengembalikan materi moral (akhlak) ke dalam relung politik setelah materi tersebut dicabut dari politik dan setelah dikatakan bahwa politik dan akhlak tidak dapat bersatu.
Beberapa sahabat yang saya cintai di mana saya tidak munmgkin menolak permintaan mereka, telah menasehati saya dan mengusulkan pada saya agar menulis Fiqih Politik Hasan Al-Banna – semoga Allah merahmatinya – sebagai bentuk kepedulian terhadap Beliau dan pemikiran Beliau setelah kematian Beliau dan sebagai penyebaran manfaat bagi pengikut dan pecinta Beliau. Saya juga telah menemukan dalam diri saya suatu keinginan yang sama dengan keinginan sahabat-sahabat saya yang harus saya perkenankan dan perhatikan permintaan mereka.
Maka sayapun setia dalam membaca berbagai risalah, diktat Beliau, berbagai tulisan yang diberikan kepada saya dan apa yang ditulis tentang Beliau. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah membantu saya untuk menulis buku yang tipis ini yang saya beri nama: “Fiqih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna” Rahimahullah.
Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
Thursday, March 12, 2009
Semai Cinta Rasul
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Demi Allah, sesiapaun di antara kamu tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Termaktub dalam sejarah bualan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb, sebelum dia masuk Islam dengan sahabat Zaid bin ad-Dathinah yang ketika itu tertawan oleh kaum musyrikin. Dia pun dibawa keluar oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan bertanya, “Ya Zaid, engkau mahu tak kalau tempatmu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menjawab, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk duri pun sedangkan aku berada di rumahku bersenang-senang dengan keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku jumpai sesiapa pun mencintai orang lain seperti cinta para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkisah, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbunuh, hingga terdengarlah esak tangis di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapanya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia lalui di antara jasad-jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haithami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hari kiamat, “Bila kiamat datang?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apa yang telah engkau bekalkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385]).
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Demi Allah, sesiapaun di antara kamu tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Termaktub dalam sejarah bualan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb, sebelum dia masuk Islam dengan sahabat Zaid bin ad-Dathinah yang ketika itu tertawan oleh kaum musyrikin. Dia pun dibawa keluar oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan bertanya, “Ya Zaid, engkau mahu tak kalau tempatmu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menjawab, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk duri pun sedangkan aku berada di rumahku bersenang-senang dengan keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku jumpai sesiapa pun mencintai orang lain seperti cinta para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkisah, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbunuh, hingga terdengarlah esak tangis di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapanya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia lalui di antara jasad-jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haithami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hari kiamat, “Bila kiamat datang?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apa yang telah engkau bekalkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385]).
Thursday, February 05, 2009
Last Khutbah of the Prophet pbuh
The Last Sermon of the Prophet
The last sermon of the Prophet-peace be upon him- is known as Khutbatul Wada'. It is mentioned in almost all books of Hadith. Following Ahadith in Sahih Al-Bukhari refer to the sermon and quote part of it. See Al-Bukhari, Hadith 1623, 1626, 6361) Sahih of Imam Muslim also refers to this sermon in Hadith number 98. Imam al-Tirmidhi has mentioned this sermon in Hadith nos. 1628, 2046, 2085. Imam Ahmed bin Hanbal has given us the longest and perhaps the most complete version of this sermon in his Masnud, Hadith no. 19774.
This Khutbah of the Prophet-peace be upon him- was long and it contained much guidance and instructions on many issues. The Prophet-peace be upon him- gave this sermon in front of a large gathering of people during Hajj.
Whosoever heard whatever part of the sermon reported it and later some scholars put it together. It is a great khutbah and we should all pay attention to its message and guidance. Following are the basic points mentioned in this khutbah:
O PeopleLend me an attentive ear, for I know not whether after this year, I shall ever be amongst you again. Therefor listen to what I am saying to you very carefully and take these words to those who could not be present here today.
O PeopleJust as you regard this month, this day, this city as sacred, so regard the life and property of every Muslim as a sacred trust. Return the goods entrusted to you to their rightful owners. Hurt no one so that no one may hurt you. Remember that you will indeed meet your Lord, and that He will indeed reckon your deeds. Allah has forbidden you to take usury (interest); therefore all interest obligation shall henceforth be waived. Your capital, however, is yours to keep. You will neither inflict nor suffer any inequity.
Allah has Judged that there shall be no interest and that all interest due to Abbas Ibn ‘Abd al Muttalib (the Prophet's uncle) shall henceforth be waived.
Beware of Satan for the safety of your religion. He has lost all hope that he will ever be able to lead you astray in big things, so beware of following him in small things.
O PeopleIt is true that you have certain rights in regard to your women, but they also have rights over you. Remember that you have taken them as your wives, only under Allah's trust and with His permission. If they abide by your right then to them belongs the right to be fed and clothed in kindness. Do treat you women well and be kind to them, for they are your partners and committed helpers. And it is your right that they do not make friends with anyone of whom you do not approve, as well as never to be unchaste.
O PeopleListen to me in earnest, worship Allah, say your five daily prayers (Salah), fast during the month of Ramadan, and give your wealth in Zakat.
Perform Hajj if you can afford to.
All mankind is from Adam and Eve, an Arab has no superiority over a non-Arab nor a non-Arab has any superiority over an Arab; also a white has no superiority over a black, nor a black has any superiority over a white- except by piety and good action. Learn that every Muslim is a brother to every Muslim and that the Muslims constitute one brotherhood. Nothing shall be legitimate to a Muslim, which belongs to a fellow Muslim unless it was given freely and willingly. Do not therefor, do injustice to yourselves.
Remember one day you will appear before Allah and answer for your deeds. So beware, do not stray from the path of righteousness after I am gone. People, no prophet or apostle will come after me and no new faith will be born. Reason well therefore, O people, and understand words which I convey to you. I leave behind me two things, the Quran and the Sunnah (Hadith), and if you follow these you will never go astray. All those who listen to me shall pass on my words to others and those to others again; and may the last ones understand my words better than those who listened to me directly. Be my witness, O Allah, that I have conveyed your message to your people."
The last sermon of the Prophet-peace be upon him- is known as Khutbatul Wada'. It is mentioned in almost all books of Hadith. Following Ahadith in Sahih Al-Bukhari refer to the sermon and quote part of it. See Al-Bukhari, Hadith 1623, 1626, 6361) Sahih of Imam Muslim also refers to this sermon in Hadith number 98. Imam al-Tirmidhi has mentioned this sermon in Hadith nos. 1628, 2046, 2085. Imam Ahmed bin Hanbal has given us the longest and perhaps the most complete version of this sermon in his Masnud, Hadith no. 19774.
This Khutbah of the Prophet-peace be upon him- was long and it contained much guidance and instructions on many issues. The Prophet-peace be upon him- gave this sermon in front of a large gathering of people during Hajj.
Whosoever heard whatever part of the sermon reported it and later some scholars put it together. It is a great khutbah and we should all pay attention to its message and guidance. Following are the basic points mentioned in this khutbah:
O PeopleLend me an attentive ear, for I know not whether after this year, I shall ever be amongst you again. Therefor listen to what I am saying to you very carefully and take these words to those who could not be present here today.
O PeopleJust as you regard this month, this day, this city as sacred, so regard the life and property of every Muslim as a sacred trust. Return the goods entrusted to you to their rightful owners. Hurt no one so that no one may hurt you. Remember that you will indeed meet your Lord, and that He will indeed reckon your deeds. Allah has forbidden you to take usury (interest); therefore all interest obligation shall henceforth be waived. Your capital, however, is yours to keep. You will neither inflict nor suffer any inequity.
Allah has Judged that there shall be no interest and that all interest due to Abbas Ibn ‘Abd al Muttalib (the Prophet's uncle) shall henceforth be waived.
Beware of Satan for the safety of your religion. He has lost all hope that he will ever be able to lead you astray in big things, so beware of following him in small things.
O PeopleIt is true that you have certain rights in regard to your women, but they also have rights over you. Remember that you have taken them as your wives, only under Allah's trust and with His permission. If they abide by your right then to them belongs the right to be fed and clothed in kindness. Do treat you women well and be kind to them, for they are your partners and committed helpers. And it is your right that they do not make friends with anyone of whom you do not approve, as well as never to be unchaste.
O PeopleListen to me in earnest, worship Allah, say your five daily prayers (Salah), fast during the month of Ramadan, and give your wealth in Zakat.
Perform Hajj if you can afford to.
All mankind is from Adam and Eve, an Arab has no superiority over a non-Arab nor a non-Arab has any superiority over an Arab; also a white has no superiority over a black, nor a black has any superiority over a white- except by piety and good action. Learn that every Muslim is a brother to every Muslim and that the Muslims constitute one brotherhood. Nothing shall be legitimate to a Muslim, which belongs to a fellow Muslim unless it was given freely and willingly. Do not therefor, do injustice to yourselves.
Remember one day you will appear before Allah and answer for your deeds. So beware, do not stray from the path of righteousness after I am gone. People, no prophet or apostle will come after me and no new faith will be born. Reason well therefore, O people, and understand words which I convey to you. I leave behind me two things, the Quran and the Sunnah (Hadith), and if you follow these you will never go astray. All those who listen to me shall pass on my words to others and those to others again; and may the last ones understand my words better than those who listened to me directly. Be my witness, O Allah, that I have conveyed your message to your people."
Sunday, January 25, 2009
Still alive ! Alhamdulillah ......
Lama juga rupanya dah tak masuk apa-apa kat blog ni. Memanglah tak ada orang baca sangat. Kurang-kurangnya dengan menulis di tempat yang boleh menjadi tatapan umum, kecermatan bertutur kata akan bertambah, dan ketajaman berfikir boleh meningkat. Bukan tak ada sebab blog ni tidk terisi. Bukan tidak online. Tak dinafikan juga mungkin sedikit elemen 'malas' selepas banyak masa disita untuk elemen lain. Tapi kalau nak difikir-fikir, orang lain lagi sibuk, tapi tak ketinggalan menyumbangkan buah fikiran yang berharga untuk dimanfaatkan oleh orang lain lewat blog mereka. Salute sungguh kat mereka ni. Semoga Allah beri kekuatan untuk terus berada di atas jalan mencari keredhaan-Nya.
Subscribe to:
Posts (Atom)