Thursday, September 29, 2011

Khutbah Masjid an-Nur, UTP, 30 Sept 2011

TAWADHU ITU PENTING

Khutbah Jumaat 30 September 2011 Masjid An- Nur

Sidang Jumaat yang saama- sama mencari keridhaan Allah SWT. Marilah kita panjatkan kesyukuran kita kepada Allah kerana masih lagi dikekalkan nikmat Iman dan Islam, nikmat keamanan dan keselesaan. Juga marilah kita tingkatkan akhlak mulia untuk mengokohkan keimanan dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Baginda Orang mukmin utama imannya, adalah orang mukmin yang terbaik akhlaknya.

Al- Quran mengajarkan, salah satu sifat utama yang perlu dimiliki oleh seorang mukmin adalah sifat tawadhu, iaitu sifat rendah hati. Bahkan Allah menyebutkan bahwa hamba-hamba Allah yang Maha Rahman ”Ibadur-Rahman” akan sentiasa berjalan di muka bumi dengan rendah hati tanpa ada rasa bangga dan sombong yang bersarang dalam dada mereka. sebagaimana Allah swt berfirman:

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah), orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (QS. Al-Furqan [25] : 63)

Tawadhu’ adalah sifat mulia yang menjadikan seseorang tidak merasa lebih besar dari orang lain dan tidak merasa lebih tinggi dari yang lain. Bagi orang-orang yang tawadhu’ manusia lain sama kedudukannya dengan dirinya walaupun dia sedang berada dalam kedudukan tinggi dalam pandangan manusia. Orang-orang yang tawadhu’ menyadari bahwa kemuliaan seseorang bukan dilihat dari kedudukan dan jabatannya, bukan dari pangkat dan hartanya, tetapi mereka di lihat dari ketakwaan yang melekat pada dirinya. Nilai dan kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah tergantung pada ketinggian takwanya. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firman-Nya:

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat [49] : 13)

Ketawadhuaan seseorang tidak akan mengurangi kehormatannya dan tidak pula akan merendahkan kedudukannya. Bahkan sebaliknya, seseorang yang memiliki kedudukan tinggi dan posisi terhormat, kemudian berendah hati maka dia akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat karena kerendahan hatinya, yang sekaligus mengangkat derajatnya di mata manusia, dan manusia tidak akan iri dan mendengki akan kedudukannya. Sebaliknya manusia yang tinggi kedudukannya dan sombong pada sikapnya, maka akan banyak orang yang dengki padanya.

Marilah kita sama-sama menyimak dengan seksama sabda baginda Nabi Muhammad Saw berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

"Sedekah itu tidak mengurangi harta, dan tidaklah seseorang itu suka memberi maaf kecuali Allah angkat dia menjadi mulia, dan tidaklah seseorang merendah hati kecuali Allah akan angkat derajatnya." (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Gambaran berikut akan memperjelas bagaimana sikap tawadhu, atau sikap merendah hati itu boleh mengangkat derjat seseorang. Adalah Khalifah Umar bin Khattab, pada suatu hari dia berjalan di tengah terik matahari sambil menutupkan selendangnya di kepalanya untuk mengelakkan dari kepanasan. Ketika itu lewatlah seorang anak muda yang menunggang seekor keledai. Berkatalah Umar padanya, “Wahai anak muda bawalah aku bersamamu!”

Maka turunlah anak muda itu dari keledainya dengan melompat seraya berkata, “Naiklah wahai Amirul mukminin!”

Melihat anak muda itu turun dari keledainya dan mempersilahkan dirinya naik sementara dia harus berjalan kaki, maka Umar berkata, ”Tidak! Naiklah engkau, dan bawalah aku di belakangmu.

Apakah engkau akan membawaku di tempat yang baik sementara engkau berjalan di atas tanah yang kasar?” Maka anak muda tadi menaiki keledainya dan memasuki Madinah sementara Umar berada di belakangnya dan penduduk Madinah melihat mereka.

Sebuah ketawadhu’an yang sangat dramatis, indah dan mengagumkan. Ketawadhu’an inilah yang kemudian menjadi cerita yang ditulis dengan tinta emas oleh para sejarawan setelah Umar meninggal ratusan tahun lamanya. Namun namanya tetap wangi semerbak karena sikapnya yang tawadhu’ ini.

Tapi Perhatikanlah sejarah kehidupan Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab yang juga berkedudukan tinggi di zamannya, namun mereka kini menjadi cemohan bangsa-bangsa dan ummat manusia hingga akhir zaman. Mereka Allah rendahkan kedudukannya karena mereka meninggikan diri di hadapan manusia.

Sidang Jummat yang sama-sama mengharapkan keridhaan Allah. Kisah ini juga akan memberikan pelajaran bagi kita. Dalam sebuah riwayat yang diceriterakan oleh Ibnu Saad dari Tsabit dia berkata, : "Pada masa Salman menjadi Gubernur Madain ada seseorang yang datang dari wilayah Syam dari kalangan Bani Tamim dengan membawa sebakul buah tiin. Sementara Salman memakai seluar yang biasa dipakai orang bukan Arab dan berbaju panjang. dan dia tidak mengetahuinya bahawa Salaman seorang gubernur, Orang itu berkata kepada Salman, 'Tolong bawakah bakul ini,' dia mengira bahwa Salman seorang tulang kuli. Maka Salman al-Farisi membawakan untuknya bakul buah tiin itu sementara manusia lain melihat dan mengenalinya seraya berkata, 'Ini gubernur kita yang kita hormati'.”

Kedua orang sahabat Rasulullah saw yang mengamalkan ajaran Nabi itu sangat mengerti makna hidup rendah hati pada manusia lainnya, termasuk pada rakyatnya dengan sepenuh hati dan jiwa. Mereka tidak pernah minta diutamakan, tidak pula ingin dipuja-puja, tidak minta untuk dikenal, tidak minta di kursi paling depan kalau ada pertemuan. Namun manusia tetap memberikan rasa hormat padanya karena memang mereka patut untuk mendapat penghormatan itu. Mereka memiliki inner power yang menjadi magnet pribadinya.

Kisah Al-Makmun khalifah Bani Abbas yang cerdas, rasanya patut kita jadikan pelajaran juga bagaimana Al-Makmun memaknai kedudukannya sebagai abdi rakyat yang sebenarnya. Suatu hari Yahya bin Aktsam menjadi tetamu Al-Makmun. Kemudian Al-Makmun berdiri untuk mengambilkan air baginya. Yahya heran melihat apa yang dilakukan oleh khalifah kaum muslimin paling disegani di zamannya itu, sambil bergumam bagaimana mungkin seorang Amirul Mukminin datang dengan membawakan air baginya, sementara dia duduk di tempatnya. Melihat perbuatan itu rasa tidak sedap pada Yahya dan tanda tanya di mukanya, Khalifah Al-Makmun berkata dengan penuh tawadhu, "Pemimpin sesuatu kaum itu adalah pelayan mereka!" Indah sekali, bagaikan legenda. Namun itu kisah nyata. “ Rakyat di dahulukan, penmcapaian di utamjakan, bukan hanya sekedar selogan.

Maka benarlah apa yang pernah dikatakan seorang penyair:

Berendah hatilah engkau bagaikan bintang yang ada di dalam bayangan air. Padahal sebenarnya dia berada di angkasa nan tinggi. Dan janganlah engkau jadi laksana asap yang membubung sendiri di atas awan, sementara sesungguhnya dia adalah rendah sekali.

Sidang jumaat yang sama-saama mencari keridhan ilahi.

Suatu ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib membeli daging seharga satu dirham. Kemudian dia membawanya dalam bungkusan. Salah seorang sahabatnya berkata padanya, "Aku saja yang membawanya wahai Amirul Mukminin!" Namun khalifah Ali bin Abi Thalib dengan santun berkata, "Jangan! Sebab orang tua dalam keluarga itulah yang paling pantas membawakan itu!" Ali menegaskan bahwa tidaklah berkurang kesempurnaan seseorang karena membawakan barang milik keluarganya.

Maka marilah kita belajar dari orang-orang besar dengan jiwa besar itu. Mereka besar karena memiliki kepribadian yang besar, memiliki hati yang lapang dan paradigma yang benar tentang makna hidup yang sesungguhnya. Saatnya kita belajar dari mereka tatkala negeri ini sedang memerlukan peminpin dengan jiwa besar, dengan pikiran besar, dengan hati yang besar, dengan visi dan misi besar yang terbungkus rapi dalam ketawadhu’an yang sempurna.

Sidang Jummat yang dimuliakan Allah SWT.

Maka milikilah sifat tawadhu, iaitu pandai menenpatkan diri kita, merendah hati. Ingin saya nasihatkan kepada para pelajar UTP yang saya sayangi khususnya, milikilah sifat tawadhu ini, walaupun kita sebagai maha siswa di beri layanan oleh gurui dan pensyarah itu sebagai kawan, Tetapi kena ingat, kita itu sebagai pelajarnya, maka sikap merendah diri dan sikap hormat kepada guru, hormat kepada ustaz dan hormat kepada pensyarah itu tetap kena ada, supaya kita mendapatkan ilmu yang manfaat dan ilmu yang berkat, inilah salah satu usaha kearah melahirkan graduan yang serba boleh dan serba soleh, Insan Ulul Albab, insan yang berfikir dan berzikir Hamba yang berilmu, beriman dan beramal.

Kepada semua kaum muslimin sekalian, Islam mengajarkan kita berbudi pekerti yang tinggi dan berakhlak mulia, merendah diri bukan menghinakan diri, tetapi sedar diri sebagai hamba, sifat sombong dan bongkak perlu di jauhi kerana itu sifat syaitan yang dikutuk.

Teguran halus dari Allah dalam Al-Quran sebagai mana Firman-Nya

Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong, kerana sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembusi bumi, dan engkau tidak akan dapat menyamai setinggi gunung-ganang. S Al-Isra 37

Disampaikan oleh : Ust Dawi Cahyono, Imam 1 Masjid an-Nur, UTP

No comments: