Saturday, September 15, 2007

Hidupkan malam-malam Ramadhanmu

Daripada Abu Hurairah r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa berdiri bersolat dalam bulan Ramadhan kerana didorong keimanan dan keinginan memperolehi keredhaan Allah, maka diampunkanlah untuknya dosa-dosanya yang terdahulu."
(Muttafaq 'alaih)

Friday, September 14, 2007

Cemburu Yang Diredhai






Cemburu selalunya dikaitkan dengan dunia percintaan manusiawi yang diselaputi dengan berahi yang tiada kenal berhenti. Di usia 40an juga gejolak kelelakian memberontak hendak menafikan gejala penurunan yang sedang dialami seorang lelaki yang terlalu disibukkan oleh kemaskulinannya. Ia akan lebih menyakitkan lagi jika ia cuba membandingkan dirinya dengan generasi yang lebih muda termasuk anaknya sendiri. Ia sukar menerima hakikat bahawa detik-detik penurunan fizikalnya ternyata sedang berdepan dengan kemungkinan penyingkiran diri dari arena orang-orang muda yang selama ini ia nikmati dan bangga-banggakan. Ia akan lebih menyakitkan lagi jika diusia itu ia masih terkinja-kinja hendak memancing gadis-gadis yang sedang meningkat matang yang dianggapnya serba lebih dari isterinya yang sudah lama berjasa kepadanya. Sakit ....sakit ! Memang sakit.




Kenapa hendak menempah sakit ? Bukankah itu saatnya untuk menyediakan diri ke era kematangan yang penuh dengan hikmah dan kebijaksanaan. Bukankah kelemahan fizikal dan pelbagai penyakit yang sedang bertunas itu umpama utusan Allah tentang dekatnya saat penghujung usia yang tiada diketahui bila tiba ? Bukankah kekurangan usia dan kebijakan akal yang dengan pukalan pengalaman hidup itu kesempatan memperbanyakkan taqarrub dengan Tuhan yang sentiasa terbuka pintu cinta-Nya kepada hamba yang bersedia ? Kenapa masih tersirna dengan cinta duniawi sementara Tuhan sedang mempermudahkan jalan kepadanya untuk meraih cinta sejati Ilahi ?




Melihat-lihat anak-anak muda mundar-mandir ke rumah Allah, sepertinya membangkitkan rasa cemburu yang lebih bererti. Bukankah janji Allah bahawa anak-anak muda yang hidup mereka membesar dalam iltizamnya beribadah itu tanda-tanda mereka akan terpilih di kalangan warga akhirat yang teristimewa ? Cemburu ? Memang patut cemburu kepada mereka . Mereka ternyata mampu menerjah nafsu muda mereka untuk mencari cinta kasih Tuhan yang lebih sejati. Mereka adalah gambaran ayat dari Surah al-Kahfi 'innahum fityatun amanu birabbihim wa zidnahum huda" ( Sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka. Maka kami tambahkan bagi mereka petunjuk )




Dalam persekitaran di menara gading yang menawarkan kebebasan hidup tanpa kekangan yang bermakna, mereka mempunyai pilihan untuk menghamburkan begitu sahaja dorongan nafsu muda dan masa lapang yang sentiasa terganga. Tapi pemuda-pemuda terpilih ini menggunakan kebebasannya untuk memupuk iman dan taqwa. Dalam suasana kampus yang tidak pun menuntutnya untuk berlazim-lazim ke rumah Allah, dia menjadikan rutin berziarah ke rumah Allah sebagai rekreasi dan hiburan yang terasyik.




Cemburunya diri di usia awal tua ini melihat kegigihan permata iman ini mencari ridha Tuhan di rumah-Nya yang semakin terpinggir.

The Ikhwan of Rasulullah (pbuh)




One day the Messenger of Allah (PBUH: peace be upon him) asked his companions: “Which of God’s creatures possess the most amazing iman (faith)?”


“The Angels,” answered his companions.


“How would the Angels not have faith in Allah when they are always close to Him,” replied the Messenger in disagreement.


“The prophets,” answered the other companions.


“How would the prophets not have faith when words of God are revealed unto them?” the Messenger disagreed.


“We - your companions?” the companions suggested.“How would you not have faith when I am always amidst you?” retorted the Messenger.


Finally the Messenger decreed: “The creatures with the most amazing iman are those who live after me. They have never met me but they declare faith in me. They love me more than they love their children and elders. They are my Ikhwan (Brothers). They read the Quran and are faithful to all its contents.”(Related by Abu Ya’la)


“O Abu Bakr,” the Messenger of Allah (PBUH) asked, “Do you not long for my Ikhwan since they also love you because you are my companion?”(Related by Ibnu Hajar Asqalani)


The Messenger of Allah (PBUH) continued: “Good tidings for those who meet and declare faith in me. And sevenfold good tidings for those who declare faith in me but have never met me.”(Related by Ahmad)


Thursday, September 13, 2007

Ar-Rayyan


Sabda Rasulullah s.a.w. :
"Di Syurga terdapat 8 pintu. Salah satu daripadanya dinamakan "ar-Rayyan". Hanya orang yang berpuasa sahaja yang layak memasukkinya."
( Muttafaq 'alaih )

Monday, September 03, 2007

Islam tidak menuntut bernegara Islam ?


Tragedi Abdullahi Ahmed Naim
Dipetik dari tulisan Adian Husaini


Pada akhir Juli hingga Agustus 2007, umat Islam Indonesia kedatangan tamu, Prof. Abdullahi Ahmed Naim. Kedatangan Naim bertepatan dengan peluncuran bukunya, yang berjudul “Islam and Secular State: Negotiating the Future of Sharia”. Edisi bahasa Indonesianya berjudul “Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah”. Panitia lokalnya adalah Center for the Study of Religion and Culture (CRSC), lembaga penelitian di bawah UIN Jakarta. Jadwalnya di Indonesia cukup padat, mulai diskusi di Jakarta, Aceh, Bandung, Makasar, dan Yogyakarta. Tampak, kedatatangan Naim kali ini dimanfaatkan secara serius untuk mempromosikan ide negara sekular.
Dekan Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Azyumardi Azra, menyempatkan menulis kolom Resonansi khusus di Harian Republika, (Kamis, 26/7/2007), yang berjudul: “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah”. Azra menulis: “Dalam konteks Indonesia yang pada dasarnya ‘netral’ terhadap agama, pemikiran an-Naim sangat relevan dan kontekstual. Karena itu, tidak ragu lagi, pemikiran an-Naim merupakan kontribusi penting bagi negara-bangsa Indonesia.”
Menurut Azra, tujuan utama buku Naim adalah mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, tetapi bukan melalui prinsip secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya.
Sebaliknya prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara. Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut an-Naim sebagai ‘netralisasi negara terhadap agama.’
Membaca tulisan Profesor Azra itu kita patut prihatin. Ide pemisahan negara dan agama bukanlah ide baru di kalangan masyarakat Muslim. Ide ini sangat absurd, karena benar-benar menjiplak pola pikir dan pengalaman masyarakat Barat. Oleh sejumlah cendekiawan ‘yang termakan oleh pandangan hidup Barat’ ide ini kemudian ditelan mentah-mentah dan dipaksakan kepada masyarakat Muslim, sebagaimana secara ekstrim dijalankan oleh Kemal Attaturk di Turki. Di Indonesia, ide semacam ini sudah lama ditolak oleh para ulama dan cendekiawan Muslim.
Mungkinkah negara netral terhadap agama? Dalam pandangan Islam, tentu saja hal itu tidak mungkin. Sebab, seorang kepala negara, menurut Islam, bertanggung jawab dunia dan akhirat terhadap Allah dalam mengemban amanah kepemimpinannya. Karena itu, kepala negara tidak boleh membiarkan rakyatnya terjerumus dalam kemusyrikan atau dosa-dosa lain. Ia harus berusaha sekuat tenaga agar kemunkaran tidak merajalela di tengah masyarakatnya. Cara pandang ini tentu saja berbeda dengan cara pandang sekular yang tidak memasukkan aspek ‘akhirat’ dalam urusan kehidupan dunia.
Lagi pula, syariah Islam bukanlah terbatas pada aspek personal semata. Syariah mencakup aspek hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk-makhluk lain. Konsep syariah ini berbeda dengan hukum Barat yang tidak mengurusi urusan individu dengan dirinya sendiri. Dalam pandangan syariah Islam, misalnya, bunuh diri diharamkan, meskipun itu hanya berkaitan dengan dirinya sendiri.
Sementara dalam masyarakat yang berpandangan hidup sekular, maka bunuh diri dianggap sebagai hak. Sebab, mereka tidak mengenal konsep bahwa tubuh manusia adalah amanah atau titipan dari Allah yang harus dijaga dengan baik. Jangankan bunuh diri, dalam Islam, merusak tubuh pun hukumnya haram.
Pemahaman Naim tentang syariat itu sendiri juga keliru. Dalam wawancara dengan Koran The Jakarta Post, edisi 26 Juli 2007, Naim menyatakan, bahwa syariah adalah produk interpretasi akal dan pengalaman manusia. Karena itu, katanya, syariah tidak memiliki unsur ketuhanan, sehingga bersifat relatif, tidak abadi, dan tidak mengikat. (But it must be the product of human interpretation, human reason and human experience. So when we say that sharia is divine it is misleading. Since sharia is the product of human interpretation, any understansing of it is not divine, not eternal and not binding).
Para ulama Islam memahami syariah tidak seperti Naim. Bagi kaum Muslim, hukum-hukum Islam jelas-jelas dipahami sebagai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Bukan hukum karangan ulama. Para ulama hanyalah menggali dan merumuskan hukum-hukum Allah yang tercantum dan bersumberkan pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu, seorang Muslim yang bermazhab Syafii, misalnya, ketika melaksanakan shalat, ia yakin benar, bahwa syarat dan rukun shalat yang dia kerjakan bukanlah karangan dan rekaan Imam Syafii atau ulama lain. Tetapi, syarat dan rukun itu memang secara tegas disebutkan dalam wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Karena itu, hukum tentang wajibnya shalat, wajibnya zakat, haramnya zina, haramnya khamr, haramnya daging babi, dan sebagainya, jelas-jelas merupakan hukum Allah yang bersifat abadi dan mengikat kaum Muslim.
Akal ulama siapapun – asalkan bukan merupakan ulama yang jahat (ulama su’) – pasti akan mengatakan bahwa shalat lima waktu adalah wajib, syirik adalah jahat, dan durhaka kepada orang tua adalah dosa besar. Itu semua merupakan hukum dan ketentuan Allah. Bukan rekaan para ulama. Karena itu, syariah memang memiliki unsur ketuhanan (divine) dan bersifat abadi serta mengikat. Jelaslah, pendapat Naim memang sangat keliru dan aneh.
Di masa Rasulullah saw, kaum Yahudi menolak kebenaran Al-Quran, karena Al-Quran itu diturunkan kepada Muhammad yang juga manusia. Mereka meminta agar Al-Quran turun langsung dari langit. Permintaan mereka itu dijawab oleh Allah: “Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.” Maka mereka disambar petir karena kezalimannya.” (QS 4:153).Di zaman sekarang ini, kita mewarisi agama Islam, Al-Quran dan Sunnah Rasul, jelas melalui akal manusia, yaitu akal para sahabat Nabi, dan para ulama sesudahnya. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir. Para ulama-lah yang kemudian melanjutkan risalah kenabian.
Kita menerima hadits Rasulullah juga berdasarkan periwayatan yang disampaikan oleh para perawi hadits yang mereka juga manusia. Allah mengkaruniai kita dengan akal pikiran yang mampu menyeleksi, mana informasi yang benar dan mana yang salah. Mana ulama yang berkualitas, dan mana yang dipaksakan sebagai ulama. Karena itu, dengan akal kita, kita mampu menerima mana berita yang salah dan mana yang pasti kebenarannya.
Meskipun sama-sama memiliki akal, kita tentu bisa membedakan, mana akal yang sehat dan mana akal yang tidak sehat. Kita tentu paham, bahwa akal Einstein tentu berbeda dengan akalnya Mr. Bean; akal Prof. Dr. Hamka berbeda kualitasnya dengan akal Sumanto pemakan manusia. Begitu juga akal Imam Bukhari, tentu berbeda dengan akal Tesi; akal Umar bin Khathab sangat berbeda dengan akalnya Hitler. Karena itu, kita tidak sembarangan mengikuti akal seseorang. Akal siapa dulu yang kita ikuti. Jelas, akal setiap manusia memang tidak sama. Dalam soal pemahaman terhadap pasal 33 UUD 1945, misalnya, tentu kita lebih percaya kepada akal Mohammad Hatta ketimbang akalnya Thukul Arwana. Begitu juga, dalam soal syariah, normalnya, tentu kita lebih percaya kepada Imam Syafii ketimbang Naim. Tentu sangat berlebihan jika menempatkan Abdullahi Ahmed Naim sebagai Imam Mazhab sejajar dengan Imam Syafii dan lain-lain.
Dalam wawancara dengan The Jakarta Post tersebut, Naim juga menyatakan, bahwa adalah berbahaya jika beberapa provinsi di Indonesia menerapkan syariah. Katanya, ”It is dangerous because these provinces are part of Indonesia and the country is part of the global economy. If you allow some provinces to enforce sharia, it’s going to undermine and damage national interests, and the unity and stability of this country.”
Simaklah, betapa sangat terbelakangnya pemikiran Naim. Berbagai daerah di Indonesia sudah menjalankan hukum yang mengadopsi syariah, dan tidak membawa perpecahan bagi bangsa Indonesia. Banyak aspek syariah yang sudah diterapkan di Indonesia, seperti bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, reksadana syariah, dan sebagainya. Bahkan, banyak kalangan non-Muslim sendiri yang kini ikut-ikutan membentuk lembaga ekonomi syariah. Karena itu, kita sungguh sulit mengerti, mengapa ada suara ketakutan terhadap syariah yang begitu berlebihan, seperti disuarakan oleh Naim ini. Suara Naim ini persis sama dengan suara Partai Kristen PDS yang begitu ketakutan terhadap syariah. Tapi, kita bisa memaklumi, karena Naim memang jubir yang baik dari negara dan LSM Barat yang membiayai proyeknya di Indonesia.
Bahkan, Naim berani menyatakan, ”Any province that claims to enforce sharia is hypocritical because sharia has many aspects.”
Syariah mana yang memiliki banyak aspek, seperti yang disebutkan Naim? Di dalam konsep Islam, ada hukum-hukum yang memang qath’iy – yang disepakati oleh kaum Muslim – dan ada yang memiliki sejumlah interpretasi, dalam soal furu’iyyah. Karena itu, jika suatu daerah menerapkan larangan beredarnya ganja dan miras, sebab kedua hal itu diharamkan dalam syariah Islam, maka daerah itu tidak bisa dikatakan telah melakukan kemunafikan, seperti tuduhan Naim.
Menyimak pemikiran Naim yang keliru dan naif seperti itu, seharusnya para ilmuwan Indonesia bersikap kritis dan tidak terlalu memuji-muji serta mendewakan pemikiran Naim. Kita sungguh sulit memahami, bagaimana mungkin seorang profesor sekaliber Azyumardi Azra berani memuji-muji pemikiran Naim, dan menyatakannya, sebagai pemikiran yang relevan untuk Indonesia.
Anehnya, dalam sampul belakang buku Naim edisi Indonesia, juga tercantum komentar Prof. Dr. A. Syafii Maarif sebagai berikut: "An-Na'im punya otoritas berbicara tentang syariah dalam kaitannya dengan keperluan mendesak umat Islam untuk merekonstruksi seluruh hasil ijtihad para fuqaha dan ulama selama tiga abad pertama hijriah. Melalui rekonstruksi ini diharapkan Islam akan mendorong dan sekaligus mengawal arus perubahan sosial yang tak terelakkan, dan syariah dalam maknanya yang autentik akan dijadikan acuan utama dalam merumuskan kebijakan publik secara cerdas dan berkualitas tinggi".
Kita jadi sulit membedakan, apakah ungkapan Syafii Maarif itu sebuah pujian atau sindiran bagi Naim. Berdasarkan kriteria apakah Syafii Maarif sampai berani menyatakan bahwa Naim punya otoritas untuk merekonstruksi seluruh hasil ijtihad para fuqaha dan ulama selama tiga abad pertama hijriah? Kita patut bertanya, sejauh manakah kehebatan Naim dalam penguasaan Al-Quran dan hadits? Berapa kitab tentang syariah dan ushul fiqih yang sudah ditulis Naim, sehingga diharapkan oleh Syafii Maarif akan merombak hasil ijtihad ulama selama tiga abad?
Kita tentu harus bersikap adil terhadap orang seperti Naim. Kita tidak boleh meremehkan Naim. Tetapi memujinya terlalu tinggi juga berlebihan. Dalam setiap bidang ilmu, ada raksasa-raksasa yang memiliki otoritas. Selama beratus tahun, para ulama yang sangat canggih ilmu, amal, dan karyanya pun senantiasa bersikap tawadhu’, tahu diri, menjaga adab keilmuan.
Imam Bukhari yang begitu hebat dalam ilmu hadits, tetap mengakui otoritas Imam Syafii dalam ilmu ushul fiqih. Para ulama Islam dulu adalah orang-orang yang tahu adab. Mereka menghormati ilmuwan lain yang lebih hebat.
Karena itu, ada klasifikasi dan martabat keilmuan yang dijaga oleh para ilmuwan. Dalam bidang fisika ada tempat tersendiri untuk Newton, Eisntein, dan Stephen Hawking. Dalam kebon binatang saja, hewan-hewan juga diklasifikasikan. Kucing diletakkan ditempat kucing.
Kelinci ditempatkan sebagai kelinci. Kambing ditempatkan sebagai kambing. Burung emprit berbeda dengan burung elang. Emprit tidak akan bisa menjadi elang, meskipun dipinjami sayap elang. Kambing tetaplah kambing, meskipun diberi jaket singa. Dia tetap mengembik, meskipun sudah berjaket dan berlagak menjadi singa.
Dalam sebuah puisinya yang berjudul ”Puyuh dengan Helang” (Baca: Burung Puyuh dan Burung Elang), Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud menulis:
”Wahai temanku sekalianJanganlah menjadi ilmuwan tiruanSyukurilah nikmat Tuhan redalah pada-NyaJika takdirmu seekor puyuh, lakukan tugasmu patuh setia.”Dalam puisinya yang lain yang berjudul ”Anak Helang”, Prof. Wan Mohd. Nor mengingatkan para ilmuwan Muslim yang lupa pada jati dirinya setelah disanjung-sanjung orang di luar negeri:”Anek helang kehilangan diri, disanjung gagak di luar negeri:Pulang ke sarang asli berbulu hitam,suara nyaring ngeri Menghalau keluarga sendiri,menganggap jahil guru awali Ajaran Nabi dan pewaris tradisidisifat tidak sesuai lagi bagi meniti arus pluralisme dan cabaran globalisasi.”[Depok, 7 Agustus 2007]

Mendiagnosis Kesiahatan Hati

JIWA yang sihat dan tenteram memiliki beberapa tanda, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam kitab ‘Ighatsatul Lahfan min Mashayid asy-Syaithan’. Di antara tanda-tanda tersebut adalah mampu memilih segala sesuatu yang bermanfaat dan memberikan ketenteraman kepada jiwanya. Dia tidak memilih perkara-perkara yang berbahaya atau yang menjadikan jiwanya sakit atau menderita. Tanda jiwa yang sakit adalah sebaliknya.

Santapan jiwa yang paling bermanfaat adalah keimanan dan ubat yang paling mujarab adalah al-Quran. Selain itu, jiwa yang sihat memiliki sifat sebagaimana berikut :

Matlamatnya Akhirat
Jiwa yang sihat bergerak dari dunia menuju ke akhirat dan seakan-akan telah sampai di sana. Sehingga dia merasa seperti telah menjadi penghuni akhirat dan putera-puteri akhirat. Dia datang dan berada di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing, yang mengambil sekadar keperluannya, untuk segera kembali ke negeri asalnya. Nabi s.a.w bersabda,

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau (musafir) yang melalui suatu jalan.” (HR. al-Bukhari)

Bila jiwa seseorang itu sihat, dia akan mengembara menuju akhirat dan menghampirinya, sehingga seakan-akan dia telah menjadi penghuninya. Sedangkan bila jiwa tersebut sakit, maka dia akan terlena dengan dunia dan menganggapnya sebagai negerinya yang kekal, sehingga jadilah dia hamba kepadanya.

Keinginan Menuju Allah s.w.t.
Di antara tanda tenteramnya jiwa ialah selalu mendorong seseorang untuk kembali kepada Allah s.w.t. dan tunduk kepada-Nya. Dia bergantung hanya kepada Allah, mencintai-Nya sebagaimana seseorang mencintai kekasihnya. Tidak ada kehidupan, kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan kecuali hanya dengan ridha Allah, merasa dekat dan rasa jinak terhadap-Nya. Merasa tenang dan tenteram dengan Allah, berlindung kepada-Nya, bahagia bersama-Nya, bertawakkal hanya kepada-Nya, yakin, berharap dan takut hanya kepada Allah.

Maka jiwa tersebut akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk mecari ketenangan dan ketenteraman bersama Ilah sembahannya. Tatkala itulah ruh benar-benar merasa kehidupan dan kenikmatan dan menjadikan hidupnya lain daripada yang lain, bukan kehidupan yang penuh dengan kelalaian dan berpaling dari tujuan penciptaan manusia. Untuk tujuan menghamba kepada Allah s.w.t inilah syurga dan neraka diciptakan, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.

Abul Husain al-Warraq berkata, “Hidupnya jiwa adalah dengan mengingat Zat Yang Maha Hidup dan Tidak Pernah Mati, dan kehidupan yang nikmat adalah kehidupan bersama Allah, bukan selain-Nya.”

Oleh kerana itu terputusnya hubungan seseorang dengan Allah s.w.t. adalah lebih dahsyat kepada orang-orang arif yang mengenal Allah daripada kematian, kerana terputus dari Allah adalah terputus dari al-Haq, sedang kematian adalah terputus dari sesama manusia.

Tidak Bosan Berzikir
Di antara tanda sihatnya jiwa adalah tidak pernah bosan untuk berzikir mengingat Allah s.w.t. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain dari Nya, kecuali kepada orang yang menunjukkan jalan kepada Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah s.w.t. atau saling mengingatkan dalam kerangka berzikir kepada-Nya.

Menyesal jika Tertinggal dari Berzikir
Jiwa yang sihat akan rasa menyesal, merasa sedih dan sakit melebihi sedihnya seorang bakhil yang kehilangan hartanya jika tertinggal atau terlupa berzikir.

Rindu Untuk Beribadah
Jiwa yang sihat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah s.w.t. , sebagaimana rindunya seorang yang lapar terhadap makanan dan minuman.

Khusyu’ Dalam Solat
Jiwa yang sihat akan meninggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan ketika sedang menunaikan solat. Sangat berhati-hati dalam masalah solat dan bersegera melakukannya, serta memperolehi ketenangan dan kenikmatan di dalam solat tersebut. Baginya solat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa.

Keinginannya Hanya kepada Allah
Jiwa yang sihat, keinginannya hanya satu, iaitu kepada segala sesuatu yang diredhai Allah s.w.t..

Menjaga Waktu
Di antara tanda sihatnya jiwa adalah merasa sayang jika waktunya hilang dengan sia-sia, melebihi sayang seorang yang kikir terhadap hartanya.

Muhasabah dan Memperbaiki Diri
Jiwa yang sihat senantiasa memberi perhatian untuk terus memperbaiki amal, melebihi perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkatkan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba’ah dan ihsan (seakan-akan melihat Allah s.w.t. dalam beribadah, atau selalu merasa dilihat Allah). Di samping itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah s.w.t. serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya.

Demikian di antara beberapa tanda yang menunjukkan sihatnya jiwa seseorang.

Dapat disimpulkan bahwa jiwa yang sihat dan tenteram adalah qalbu yang himmah (keinginannya) kepada sesuatu yang menuju Allah s.w.t. , mencintai-Nya dengan sepenuhnya, menjadikan-Nya sebagai matlamat. Jiwa raganya untuk Allah, amalan, tidur, bangun dan bicaranya hanyalah untuk-Nya. Dan ucapan tentang segala yang diredhai Allah lebih dia sukai daripada segala pembicaraan yang lain, fikirannya selalu tertuju kepada apa sahaja yang diredhai dan dicintai-Nya.

Berkhalwah (menyendiri) untuk mengingat Allah s.w.t lebih dia sukai daripada bergaul dengan orang, kecuali dalam pergaulan yang dicintai dan diredhai-Nya. Kebahagiaan dan ketenangannya adalah bersama Allah, dan ketika dia mendapati dirinya berpaling kepada selain Allah, maka dia segera mengingat firman-Nya,

”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diredhai-Nya.¨ (QS. 89:27-28)

Dia selalu mengulang-ulang ayat tersebut, dengan harapan dia akan mendengarnya nanti pada hari Kiamat dari Rabbnya. Maka akhirnya jiwa tersebut di hadapan Ilah dan Sesembahannya yang Haq akan terwarna dengan sibghah (celupan) sifat kehambaan. Sehingga jadilah dia abdi sejati sebagai di segi sifat dan karakternya, ibadah adalah nikmat bukannya beban yang memberatkan. Dia melakukan ibadah dengan rasa gembira, cinta dan rasa dekat kepada Rabbnya.

Ketika diajukan kepadanya perintah atau larangan dari Rabbnya, maka hatinya berkata, “Aku sambut panggilan-Mu, aku penuhi dengan suka cita, sesungguhnya aku mendengar, taat dan akan melaksanakannya. Engkau berhak dan layak mendapat semua itu, dan segala puji kembali hanya kepada-Mu.¨

Apabila ada takdir menimpanya maka dia mengatakan, ” Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, miskin dan memerlukan-Mu, aku hamba-Mu yang fakir, lemah tidak berdaya. Engkau adalah Rabbku yang Maha Mulia dan Maha Penyayang. Aku tidak mampu untuk bersabar jika Engkau tidak menolongku untuk bersabar, tidak ada kekuatan bagiku jika Engkau tidak membantuku dan memberiku kekuatan. Tidak ada tempat bersandar bagiku kecuali hanya kepada-Mu, tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kepadaku kecuali hanya Engkau. Tidak ada tempat berpaling bagiku dari pintu-Mu, dan tidak ada tempat untuk lari dari-Mu.¨

Dia mempersembahkan segalanya hanya untuk Allah s.w.t, dan dia hanya bersandar kepada-Nya. Apabila ditimpa sesuatu yang tidak disukai maka dia berkata, “Rahmat telah dihadiahkan untukku, ubat yang sangat bermanfaat dari Zat Pemberi Kesembuhan yang mengasihiku.” Jika dia kehilangan sesuatu yang dia sukai, maka dia berkata, “Telah disingkirkan keburukan dari sisiku.“

Semoga Allah s.w.t memperbaiki jiwa kita semua, dan menjaganya dari penyakit-penyakit yang merosak dan membinasakan, Amin.

Saturday, September 01, 2007

Isteri Bapa Sekulerisme Turki Pun Bertudung Rupanya


Apabila Adullah Gul hendak dicalonkan menjadi Presiden Turki, keadaan isterinya yang bertudung amat diberi perhatian dan dianggap mengancam pegangan sekulerisme Turki. Satu ketika dahulu, seorang ahli Parlimen yang bertudung juga diambil tindakan kerana 'kesalahan' yang tak dan tak bukan adalah bertudung.


Memetik dari artikel di http://www.eramuslim.com/ di bawah, ternyata isteri Bapa Sekulerisme Turki pun bertudung. Kenapa di kalangan generasi sekularis hari ini, ia dipermasalahakan ?


===========================================================




Turki memang melarang keras seorang Muslimah memakai jilbab. Tapi ternyata ada fakta sejarah yang cukup mencengangkan. Bapak pendiri sekulerisme Turki Mushtafa Kamal Ataturk, memiliki isteri yang juga berjilbab. Aneh ya.
Ini sebenarnya bukanlah fakta baru, mengingat dalam sejumlah foto ditampilkan Ataturk sedang berpose dengan sang isteri yang berjilbab.
Isteri Ataturk yang bernama Lathifa Osaki, adalah perempuan berjilbab atau dikenal dengan istilah sharashaf, pakaian jilbab hitam khas Turki. Mirip dengan pakaian jubah yang banyak dipakai Muslimah di Timur Tengah. Tapi mungkin, ambisi sekulerisme yang membuat banyak orang-orang sekuler Turki yang ‘buta’ terhadap fakta itu.
Dan dengan terpilihnya Gul sebagai Presiden Turki, yang juga isterinya berjilbab, maka jilbab pun untuk pertama kalinya dibolehkan dikenakan di istana kepresidenan Turki pada tanggal 29 Agustus 2007. Khairu Nisa, isteri Gul, yang berjilbab sebenarnya mengulang sejarah Turki di masa kepemimpinan Ataturk yang juga isterinya berjilbab.
Jilbab bakal jadi fenomena baru di Turki. Sesuai perkiraan yang dilansir harian Hurriet, Turki, lima tahun ke depan akan terjadi perubahan besar di ruang pemerintah dan parlemen Turki. Salah satunya yang paling mencolok adalah jumlah perempuan pemakai jilbab yang semakin banyak.
Setelah itu, gelombang jilbab juga bakal menggejala di berbagai instansi pemerintah Turki. Ini tentu erat kaitannya dengan kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berakar Islam, sekaligus kemenangan Abdullah Gul dari AKP yang juga memiliki isteri berjilbab. Ini adalah isteri pejabat tinggi Turki kedua yang berjilbab, setelah sebelumnya disandang oleh isteri PM Turki Erbakan.
Nah, terkait jumlah para pemakai jilbab di parlemen Turki yang akan menjadi fenomenal dalam tahun-tahun mendatang adalah berdasarkan hitungan kemenangan AKP, di mana 235 para wakil rakyat dari total 550 orang di Parlemen Turki, adalah perempuan yang memakai jilbab.
Seperti diketahui, Muslimah Turki mengalami tekanan terkait pemakaian jilbab sejak tahun 1924, saat keruntuhan Khilafah Turki Utsmani sekaligus berdirinya negara sekuler Turki pimpinan Mushtafa Kamal Ataturk. Sejak itu, jilbab dibersihkan dari sekolah tinggi dan instansi pemerintah. Sebagian Muslimah bahkan ada memilih untuk keluar dari kegiatan belajar karena menolak melepas jilbab, sementara sebagian lain terpaksa melepas jilbabnya di lingkungan kampus dan kantor pemerintah.
Masih belum lepas dari ingatan, kasus jilbab ini terus memanas setiap pergantian tahun ajaran baru di Turki. Pemberitaan media massa selalu saja menurunkan laporan aparat keamanan bersenjata Turki yang meningkatkan penjagaan untuk melarang Muslimah berjilbab masuk kampus. Tidak sedikit pula Muslimah yang akhirnya dijebloskan ke penjara karena melakukan pembelaan diri untuk tetap bisa mengikuti pelajaran di kampus dengan tetap memakai jilbab.
Dan meski AKP telah meraih kemenangan besar pada pemilu 2002, ternyata jilbab masih tetap menjadi barang haram di perguruan tinggi dan instansi pemerintah Turki. Hal ini masih terus berlaku hingga saat sekarang. Padahal, dalam penelitian saat ini, ada 65% perempuan Turki yang kini mengenakan jilbab. Kemenangan telak AKP pada pemilu lalu, mudah-mudahan berdampak pada perubahan undang-undang yang akan membolehkan pemakai jilbab. Dan itu memang sudah mulai hangat dibicarakan oleh para aktifis AKP, untuk segera merevisi undang-undang anti jilbab.
Jika itu terjadi dan berhasil, berarti perjuangan panjang Muslimah berjilbab berakhir di sini, setelah sebelumnya selama 83 tahun mereka berada di bawah tekanan sekulerisme ekstrim yang melarang jilbab. (na-str/iol)